Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dinasti, Birokrasi, dan Proyek Bermasalah di Sumatera Utara Era Bobby Nasution

12 Juli 2025   16:17 Diperbarui: 12 Juli 2025   16:17 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raut Wajah Gubernur Sumut Bobby Nasution saat ditanya soal Kedekatannya dengan Kadis PUPR Topan Obaja Ginting Senin (30/6/2025). (TRIBUN MEDAN/ANISA)

Kancah perpolitikan Indonesia kembali dihadapkan pada sorotan tajam terhadap praktik kekuasaan yang berpusat pada hubungan keluarga. 

Sebuah fenomena yang terefleksi jelas dalam perjalanan karir Bobby Nasution.

Dikenal dengan julukan 'Anak Raja' di kalangan birokrat. Juga 'Anak Toke' di lingkungan pengusaha. Gubernur Sumatera Utara ini jadi pusat perbincangan.

Terutama setelah orang kepercayaannya, Topan Obaja Putra Ginting, terjerat dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Waspada.id, 2025; Antara News, 2025).

Peristiwa yang bersumber dari laporan dalam siniar Bocor Alus Politik oleh media terkemuka Tempo (Youtube, 2025). 

Peristiwa ini membuka kotak pandora. Yang mengungkap jejaring kekuasaan, manipulasi birokrasi, serta serangkaian proyek bermasalah yang membayangi kepemimpinannya.

Analisis yang didukung oleh berbagai sumber terverifikasi menunjukkan. 

Ada pola sistematis dalam mengonsolidasi kekuasaan. Berakar pada kedekatan pribadi, bukan kinerja atau meritokrasi. 

Pola yang pada akhirnya memicu dugaan korupsi dan kerusakan sistem pemerintahan.

Lingkaran Inti Kekuasaan dan OTT KPK

Topan Ginting telah ditangkap. Dia Kepala Dinas PUPR Sumut. Penangkapan dilakukan oleh pihak KPK. Terjadi pada bulan Juni 2025. Ini jadi titik masuk krusial. Untuk memahami cara kerja kekuasaannya. Yaitu lingkar kekuasaan Bobby Nasution (Tempo.co, 2025).

Topan ditetapkan sebagai tersangka. Dalam kasus dugaan suap proyek jalan senilai Rp 231 miliar (Kompas.tv, 2025).

Menurut laporan awal, operasi senyap di Mandailing Natal ini memiliki kejanggalan. Salah satunya adalah laporan bahwa dari enam orang yang diamankan. Hanya lima yang ditetapkan sebagai tersangka (Kompas.com, 2025; Antara News, 2025; Kompas.com, 2025).

Klaim yang beredar dalam diskusi awal menyebut bahwa satu orang yang tidak diumumkan adalah seorang perwira menengah polisi. Namun informasi spesifik mengenai ini tidak dapat dikonfirmasi dari sumber resmi. Dan memerlukan klarifikasi lebih lanjut.

Figur Topan Ginting sendiri merupakan studi kasus. Tentang bagaimana patronase politik dapat melambungkan karir seseorang. Kedekatannya dengan Bobby terjalin erat sejak Pilkada Medan 2020.

Di mana Topan, saat itu menjabat sebagai Camat Medan Tuntungan, berperan vital dalam tim kampanye (Kompas.id, 2025).

Kesuksesannya diganjar promosi kilat. Hanya empat hari setelah Bobby dilantik sebagai gubernur, Topan langsung diangkat menjadi Kadis PUPR Sumut (Tempo.co, 2025), sebuah langkah yang menggarisbawahi betapa istimewanya posisinya.

Penguasaan Birokrasi dan Proyek Bermasalah

Pengaruh Bobby tak berhenti pada satu orang. Ia secara sistematis menempatkan sejumlah pejabat dari Pemko Medan. Pada posisi-posisi strategis di pemerintah provinsi untuk mengamankan kendalinya.

Nama-nama seperti Alexander Sinulingga, Sutan Tolang Lubis, dan Sulaiman Harahap turut dibawa untuk menguasai pos-pos krusial seperti Inspektorat dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) (Hastara.id, 2025; Tempo.co, 2025; Jurnalx.co.id, 2025).

Penempatan ini dikritik karena mengabaikan merit system. Serta membuka ruang bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dengan menempatkan loyalitas di atas kompetensi (Hastara.id, 2025; Waspada.co.id, 2025).

Warisan kepemimpinan Bobby juga diwarnai oleh serangkaian proyek jumbo yang sarat masalah.

- Revitalisasi Lapangan Merdeka 

Proyek dengan anggaran fantastis lebih dari Rp 600 miliar (Antikorupsi.org, 2025; Mitramabes.com, 2023) ini jadi contoh paling mencolok. 

Proyek ini bahkan dapat dukungan dana hibah. Sebesar Rp 100 miliar dari Pemprov Sumut di masa Gubernur Edy Rahmayadi (JPNN, 2022; Republika, 2021). 

Namun, pelaksanaannya dikritik tajam. Oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan FITRA. Karena masalah transparansi dan rekam jejak kontraktor yang meragukan (Antikorupsi.org, 2025; Antikorupsi.org, 2025).

- Proyek Lampu Pocong 

Proyek lanskap lampu hias senilai Rp 25,7 miliar ini. Secara terbuka diakui sebagai proyek gagal total oleh Bobby sendiri (Detik.com, 2023; Kompas.com, 2023). 

Ia bahkan minta kontraktor untuk mengembalikan dana senilai Rp 21 miliar. Karena hasilnya tak sesuai spesifikasi (Detik.com, 2023; BPK Sumut, 2023). 

Kasus ini sempat viral. Dan memicu permintaan maaf publik dari Bobby atas kegagalan tersebut (Detik.com, 2024).

Jejak Politik dan Bayang-Bayang Dinasti

Semua ini tak dapat dilepaskan dari proses politik yang melambungkan nama Bobby. Sebagai menantu Presiden Joko Widodo, kenaikannya bukan proses organik (Tempo.co, 2025).

Dalam Pilkada Medan 2020, PDIP yang awalnya memiliki calon lain. Akhirnya luluh dan mengusung Bobby. Setelah ada desakan kuat dari Jokowi. Bapak mertua Bobby yang mengatakan bahwa "momentumnya sekarang" (Tempo.co, 2025).

Dia menang atas Akhyar Nasution (CNN Indonesia, 2020; VOA Indonesia, 2020). Lalu dia menang Pilgub Sumut 2024. Saat itu bersama pasangannya, Surya (Kompas.id, 2024; CNN Indonesia, 2024; Gerindra Sumut, 2024). 

Kemenangan ini membuat cengkeraman Bobby makin kuat. Lalu apa yang terjadi di Sumut? Di bawah kepemimpinan Bobby Nasution?

Yang terjadi adalah sebuah manifestasi dinasti politik (Tempo.co, 2025; Tempo.co, 2025; Tempo.co, 2025). Manifestasi yang nyata.

Ini adalah sebuah praktik. Praktik yang dikhawatirkan banyak pihak. Karena selalu beriringan dengan sebuah risiko. Risiko penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Yang membuat sistem meritokrasi terancam. 

Saat penempatan pejabat didasarkan kedekatan. Juga didasarkan pada loyalitas pribadi. Bukan berdasar pada tingkat kompetensi. 

Pola ini mencerminkan sebuah tren. Tren yang skalanya lebih besar. Tren di tingkat nasional. Di mana batasan antara keluarga dan negara jadi kabur. 

Kasus Bobby Nasution jadi pengingat pahit bahwa tanpa pengawasan publik yang ketat. Serta penegakan hukum yang independen. Kekuasaan yang diperoleh melalui jalan pintas dinasti berisiko tinggi. 

Menghasilkan kerusakan yang sistemik. Serta meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan (Fajar.co.id, 2025; Tribunnews, 2025).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun