Semua ini tak dapat dilepaskan dari proses politik yang melambungkan nama Bobby. Sebagai menantu Presiden Joko Widodo, kenaikannya bukan proses organik (Tempo.co, 2025).
Dalam Pilkada Medan 2020, PDIP yang awalnya memiliki calon lain. Akhirnya luluh dan mengusung Bobby. Setelah ada desakan kuat dari Jokowi. Bapak mertua Bobby yang mengatakan bahwa "momentumnya sekarang" (Tempo.co, 2025).
Dia menang atas Akhyar Nasution (CNN Indonesia, 2020; VOA Indonesia, 2020). Lalu dia menang Pilgub Sumut 2024. Saat itu bersama pasangannya, Surya (Kompas.id, 2024; CNN Indonesia, 2024; Gerindra Sumut, 2024).Â
Kemenangan ini membuat cengkeraman Bobby makin kuat. Lalu apa yang terjadi di Sumut? Di bawah kepemimpinan Bobby Nasution?
Yang terjadi adalah sebuah manifestasi dinasti politik (Tempo.co, 2025; Tempo.co, 2025; Tempo.co, 2025). Manifestasi yang nyata.
Ini adalah sebuah praktik. Praktik yang dikhawatirkan banyak pihak. Karena selalu beriringan dengan sebuah risiko. Risiko penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Yang membuat sistem meritokrasi terancam.Â
Saat penempatan pejabat didasarkan kedekatan. Juga didasarkan pada loyalitas pribadi. Bukan berdasar pada tingkat kompetensi.Â
Pola ini mencerminkan sebuah tren. Tren yang skalanya lebih besar. Tren di tingkat nasional. Di mana batasan antara keluarga dan negara jadi kabur.Â
Kasus Bobby Nasution jadi pengingat pahit bahwa tanpa pengawasan publik yang ketat. Serta penegakan hukum yang independen. Kekuasaan yang diperoleh melalui jalan pintas dinasti berisiko tinggi.Â
Menghasilkan kerusakan yang sistemik. Serta meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan (Fajar.co.id, 2025; Tribunnews, 2025).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI