Menyimak kisah para pujangga hebat di tanah Jawa, kita seolah diajak merenung. Merenungi sebuah jalan hidup yang begitu fokus pada satu tujuan, hingga terkadang urusan lain tampak dikesampingkan. Kisah mereka memantik tanya: apa sebenarnya yang kita kejar dalam hidup ini?
Mengapa cerita ini menyentuh? Karena perasaan itu masih ada sampai sekarang. Perasaan terbelah antara dua hal. Antara ambisi dan hati. Para pujangga dalam naskah kuno itu seakan memilih satu jalan dengan tegas.Â
Kita di zaman sekarang seringnya terjebak di tengah. Merasa bersalah saat kerja. Merasa cemas saat istirahat. Cerita ini mengingatkan kita tentang harga sebuah pilihan. Dan tentang betapa pentingnya tahu apa yang kita cari.
Kisah-kisah tentang dedikasi ini menunjukkan sebuah kebenaran. Mengejar panggilan jiwa, entah itu ilmu atau seni, adalah pisau bermata dua.Â
Di satu sisi, ia memberi kita tujuan dan energi yang luar biasa. Hidup terasa lebih berarti. Tapi di sisi lain, tanpa sadar kita bisa terperosok ke dalam obsesi.Â
Batas antara semangat dan memforsir diri menjadi kabur. Berbagai studi ilmiah pun mengonfirmasi bahwa beban kerja yang berlebihan memang memiliki dampak signifikan terhadap stres yang dialami pekerja (Sari & Sudja, 2022).
Ide tentang 'passion' sebagai pisau bermata dua ini bukan omong kosong. Ada penjelasan di baliknya, yang bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari:
- Memberi Energi dan Tujuan.Â
Inilah sisi tajam yang positif. Saat kita mengerjakan sesuatu yang kita cintai, otak melepaskan rasa senang. Kita merasa berenergi. Punya alasan kuat untuk bangun pagi.Â
Hidup terasa punya arah. Para tokoh dalam naskah kuno itu menemukan makna dalam perjalanan spiritual dan intelektual mereka. Inilah kekuatan yang membuat mereka mampu menempuh jalan yang khas. Energi ini nyata dan membuat kita merasa hidup.
- Mengubah Semangat Jadi Obsesi.Â
Ini sisi tajam yang berbahaya. Batas antara 'suka' dan 'harus' mulai kabur. Istirahat terasa seperti dosa. Kita terus memaksakan diri. Tanpa sadar, kita sudah terobsesi.Â
Riset psikologi modern secara konsisten menunjukkan bahwa tekanan ini bisa berujung pada kelelahan emosional atau burnout, di mana seseorang merasa terkuras habis secara mental dan fisik (Pradana & Baktiono, 2021).Â
Kita pikir kita sedang berjuang. Padahal, kita sedang membakar diri sendiri pelan-pelan.
- Mengorbankan Hubungan Nyata.Â
Saat semua energi tersedot pekerjaan, siapa yang jadi korban? Orang-orang terdekat kita. Naskah kuno mengisahkan perjalanan seorang resi. Namanya Bujangga Manik. Ia terus berkelana untuk perjalanan spiritualnya.Â
Di zaman modern, kita mungkin berbeda. Kita tidak berkelana secara fisik. Tapi kita 'pergi' secara mental. Kita memang ada di rumah. Tapi pikiran kita ada di kantor.Â
Waktu untuk keluarga dan teman terkikis. Hal ini memicu konflik urusan kerja. Juga konflik kehidupan pribadi (Pradana & Baktiono, 2021).
- Membuat Jiwa Rapuh.Â
Saat seluruh identitas kita adalah pekerjaan. Kita jadi sangat rapuh. Jika pekerjaan itu gagal. Kita merasa diri kita gagal total. Hancur. Tidak ada penopang lain.Â
Itulah mengapa dukungan sosial dari lingkungan sekitar sangat penting. Ia berfungsi sebagai jaring pengaman. Para resi di masa lalu mungkin punya komunitas spiritualnya. Kita di zaman modern juga butuh 'mandala' atau lingkaran pendukung kita sendiri.
Kisah-kisah tentang dedikasi ini memaksa kita untuk berpikir ulang: apa arti sukses yang sebenarnya? Apakah piala di atas rak tapi hati yang hampa? Ataukah dompet yang tebal tapi jiwa yang kesepian?Â
Mereka mengajarkan kita. Bahwa pencapaian tanpa koneksi adalah sebuah kehampaan. Pelajaran terbesarnya adalah. Untuk tidak hanya mengejar 'apa' yang kita mau.Â
Tapi juga 'bersama siapa' kita mau melewatinya. Karena di akhir perjalanan. Yang paling kita ingat bukanlah lembur. Melainkan tawa bersama.
Para pujangga meninggalkan warisan dalam naskah-naskah kuno. Pertanyaannya untuk kita: warisan apa yang ingin kita tinggalkan?Â
Tumpukan pekerjaan, atau tumpukan kenangan hangat bersama orang tersayang? Jawabannya ada di pilihan kita setiap hari.
***
Referensi:
- Pradana, M. A., & Baktiono, B. A. (2021). Pengaruh Work-Family Conflict dan Beban Kerja Terhadap Burnout pada Karyawan. Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 8(4). Diakses dari https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/character/article/download/53369/42741
- Sari, N. P. R. I., & Sudja, I. N. (2022). Pengaruh Beban Kerja dan Stres Kerja terhadap Kinerja Karyawan pada The Vasini Hotel Denpasar. Jurnal Manajemen, Kewirausahaan dan Pariwisata, 2(3). Diakses dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/manajemen/article/view/67903
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI