Ini adalah bukti konkret. Bahwa akses terhadap edukasi sejarah dan budaya bisa sangat dimudahkan.
Yang juga menggugah minat saya adalah eksplorasi pusat kerajinan lokal atau desa wisata.
Adyatama Tour, dalam ulasannya secara eksplisit menekankan. Bagaimana desa wisata kini jadi pilar penting pariwisata berkelanjutan. Sekaligus pusat untuk merasakan pengalaman budaya yang asli.
Bukan lagi rekreasi sambil lalu. Tapi kita bisa benar belajar tentang proses pembuatan kerajinan. Memahami filosofi di baliknya. Bahkan terlibat dalam kegiatan masyarakat setempat.
Contoh nyata, Desa Wisata Kampung Betawi Setu Babakan di Jakarta yang menawarkan pengalaman budaya Betawi tanpa biaya masuk.
Atau jika ingin pengalaman yang lebih dalam terkait pelestarian alam dan budaya. Viva Wisata pernah mengulas Desa Wisata Etnaprana. Sebagai salah satu model sukses pengembangan eco-tourism di Indonesia tahun 2025.Â
Bagi saya, inilah investasi wawasan yang tak ternilai untuk anak-anak.
Tren Minat pada Aktivitas Wisata Gratis
Ada beberapa aspek yang mungkin terlewat jika kita tidak jeli mengamati. Tren pariwisata menunjukkan, ada peningkatan minat pada aktivitas wisata gratis atau berbiaya rendah.
Kabar Jawa misalnya, merilis daftar wisata di Jogja dengan tiket masuk gratis (HTM free) edisi Mei 2025. Secara implisit menunjukkan bahwa permintaan dan penyediaan fasilitas semacam ini ada dan berkembang. Ini sinyal positif.
Coba perhatikan taman kota atau alun-alun di sekitar kita. Sering tempat-tempat ini jadi pusat rekreasi keluarga. Tanpa perlu mengeluarkan biaya sepeser pun.
Detik Travel bahkan pernah mengulas bagaimana Alun-Alun Depok bisa menghasilkan cuan bagi pedagang sekitar. Dan ramai pengunjung. Meski fasilitas utamanya gratis.