Di kota tempat kita tinggal. Di desa sebelah. Bahkan mungkin di lingkungan sekitar rumah yang belum pernah kita eksplorasi dengan saksama.
Wisata Edukasi Berbasis Pengalaman Lokal
Nilai utama dari liburan model begini ternyata bukan soal hemat. Justru, yang tak ternilai adalah aspek edukasi dan pengalaman budayanya.Â
Kita dan anak-anak bisa mendapatkan apa yang disebut cultural immersion. Merasakan langsung kearifan dan denyut nadi kehidupan lokal. Inilah contoh sekolah kehidupan.
Coba bayangkan, mengajak anak-anak melakukan tur jalan kaki mandiri. Modalnya cuma aplikasi Maps dan semangat eksplorasi. Menyusuri lorong waktu di kawasan bersejarah. Atau menyapa warga di kampung-kampung tradisional dengan ramah.
Menurut catatan Museum BPK, komunitas Mlaku Magelang berhasil mengubah kegiatan jalan kaki sederhana menjadi sarana jelajah sejarah yang edukatif. Dan pastinya terjangkau.Â
Kan keren! Anak-anak tidak hanya dengar cerita. Tapi melihat dan merasakan langsung.
Lalu, ada blusukan ke pasar tradisional. Mungkin kita hanya menganggapnya tempat belanja kebutuhan dapur.Â
Tapi setelah baca ulasan peneliti UN Malang. Yang menyoroti pasar tradisional sebagai potensi wisata niaga berbasis budaya lokal. Perspektif saya berubah.
Di pasar tradisional, anak-anak bisa belajar tentang interaksi sosial. Anak mengenal aneka hasil bumi. Mereka juga bisa mencicipi jajanan pasar seperti Coipan atau Lanting Slondok yang harganya mungkin cuma Rp 7.000-an. Murah tapi enak.
Kemudian, museum lokal. Banyak yang beranggapan museum itu membosankan. Padahal, tidak selalu. Museum Bank Indonesia, misalnya. Tiket masuknya hanya Rp 5.000. Monas juga sangat terjangkau.
Bahkan saat peringatan Hardiknas 2025. Diberitakan oleh Nyala Nusantara, bahwa KAI Wisata menggratiskan kunjungan bagi para guru ke Museum Kereta Api Ambarawa dan Lawang Sewu.