Perang dagang mereda, tapi Indonesia harus belajar menghadapinya dengan memperkuat daya saing, bukan proteksi.
Pada 11 Mei 2025, dunia menyaksikan perubahan penting dalam hubungan ekonomi global.Â
Setelah hampir setahun penuh ketegangan, Amerika Serikat dan China akhirnya sepakat untuk meredakan perang dagang mereka dengan penurunan tarif yang disepakati di Geneva.Â
Penurunan tarif impor ini menjadi penanda bahwa proteksi tarif yang berlebihan dapat merugikan perekonomian global.Â
Apa yang bisa dipelajari Indonesia dari peristiwa ini? Apakah ekonomi Indonesia harus tetap bergantung pada proteksi atau justru memperkuat daya saing internal untuk mencapai ketahanan ekonomi?
Reda Perang Dagang Pelajaran Penting
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang dimulai dengan kenaikan tarif impor pada awalnya, didorong oleh upaya Amerika untuk mengurangi defisit neraca berjalan dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja di dalam negeri (Kompas.id, 2025).Â
Namun, penurunan tarif yang tercapai pada Mei 2025 menunjukkan bahwa proteksi tarif yang tinggi tidak hanya merugikan negara mitra, tetapi juga negara pengimpor.Â
Penurunan tarif ini menunjukkan bahwa kebijakan proteksi berlebihan tidak efektif dalam jangka panjang, bahkan dapat merugikan kesejahteraan ekonomi global (Kompas.id, 2025).Â
Hal ini sejalan dengan teori ekonomi klasik yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam Wealth of Nations, yang menekankan bahwa perdagangan bebas dan persaingan pasar yang sehat akan lebih menguntungkan perekonomian secara keseluruhan.Â
Smith berargumen bahwa hambatan perdagangan, seperti tarif dan proteksi, hanya menciptakan distorsi dalam pasar dan mengurangi efisiensi alokasi sumber daya.Â