Tragedi kebakaran di Kendari membuka mata tentang kegagalan sistem perlindungan anak dan pengasuhan yang lemah.
Berita kebakaran di Kendari mengejutkan banyak orang. Kebakaran itu menewaskan tiga balita. Tragedi ini sangat menyedihkan. Namun ini juga menunjukkan kegagalan sistem perlindungan anak.Â
Saat saya mendengar berita ini, saya teringat kasus serupa. Kasus-kasus yang melibatkan anak seperti ini sering dianggap kecelakaan semata. Padahal akar masalahnya lebih dalam.
Ketidakmampuan Sistem Perlindungan Anak yang Terabaikan
Pada 6 Mei 2025, kebakaran terjadi di rumah yang terkunci. Kebakaran ini menewaskan tiga balita bersaudara. Satu balita lainnya menderita luka bakar serius.Â
Fokus utama tragedi ini bukan hanya kebakaran itu. Namun, soal pengasuhan dan sistem perlindungan anak. Sistem perlindungan anak gagal berfungsi dengan baik.Â
Siska Amelia, ibu dari korban, membiarkan anak-anaknya sendirian di rumah. Ia pergi membeli makanan. Tidak ada yang menduga peristiwa ini berujung pada kematian tragis.Â
Ini bukan sekadar kelalaian seorang ibu. Namun, mencerminkan kegagalan sistem yang seharusnya melindungi anak-anak.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 2.355 kasus pelanggaran perlindungan anak pada 2023. Sebanyak 861 kasus terjadi di lingkungan pendidikan (Kompas, 2023).Â
Angka ini menunjukkan masalah pengabaian dan kekerasan terhadap anak. Ini bukan fenomena kebetulan, tetapi isu sistemik yang berlangsung lama.Â
Banyak kasus pengasuhan yang tidak memadai. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau keterbatasan sumber daya. Akibatnya, anak-anak berada dalam kondisi yang membahayakan.