Riset ganja medis di Indonesia terhambat meski sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi sejak 2020.
Di Indonesia, ganja dikenal sebagai narkotika terlarang. Namun ada perdebatan tentang potensi medisnya. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang mendorong riset ilmiah pada 2020 (Tirto, 2025).Â
Putusan itu mendorong riset ilmiah tentang manfaat medis ganja. Sayangnya meski sudah ada perintah, riset ini belum terlaksana. Kenapa riset ini terhambat? Apa saja kendalanya?
Kenapa Belum Dilaksanakan?
Pada 2020, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penelitian dan kajian ilmiah ganja medis harus dilakukan. Tujuannya untuk mengeksplorasi manfaat ganja dalam pengobatan berbagai penyakit.Â
Penelitian luar negeri menunjukkan ganja efektif untuk kanker, gangguan neurologis, dan rasa sakit kronis. Namun, riset ini belum dimulai di Indonesia.
Faktor utama yang menghambat riset adalah masalah regulasi tumpang tindih. Ganja masih terdaftar sebagai narkotika golongan I berdasarkan UU Narkotika.Â
Status hukum ganja yang dianggap berbahaya menghalangi riset medis. BNN berkomitmen memulai riset, namun hingga kini belum ada proposal ke Kementerian Kesehatan.
Hukum dan Kebijakan yang Tertinggal
Masalah terbesar adalah ketidakjelasan dalam regulasi dan status hukum ganja medis.Â
Mahkamah Konstitusi sudah memberi perintah, namun ada ketidaksepakatan soal posisi ganja dalam dunia medis. Pemerintah Indonesia terjebak dalam kerangka hukum yang membatasi penggunaan ganja, yang menghambat riset.
Kementerian Kesehatan mengungkap belum ada proposal resmi dari BNN. Ini menunjukkan kebingungan internal mengenai langkah riset ilmiah ganja medis. Masyarakat yang membutuhkan riset ini merasa frustrasi karena riset yang ditunggu belum juga dimulai.