Mengapa vasektomi masih ditolak di Indonesia? Temukan pandangan budaya dan maskulinitas di baliknya.Â
Di Indonesia, keluarga berencana (KB) sering diasosiasikan dengan perempuan. Namun, vasektomi, prosedur kontrasepsi untuk pria, sering terabaikan.Â
Vasektomi efektif dengan risiko medis rendah. Namun, minat pria Indonesia menjalani prosedur ini masih rendah. Hal ini tidak hanya soal medis, tetapi juga dipengaruhi budaya. Faktor budaya mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia.
Identitas Pria & Garis Keturunan dalam Konstruksi Budaya
Di banyak masyarakat Indonesia, kesuburan pria lebih dari sekadar kemampuan menghasilkan keturunan. Kesuburan dianggap simbol kejantanan dan status sosial.Â
Dalam masyarakat patriarkal, pria dilihat sebagai penerus garis keturunan. Pria juga dianggap pelindung keluarga.Â
Oleh karena itu, kemampuan pria memiliki anak, terutama anak laki-laki, sangat penting. Anak laki-laki dianggap penerus nama keluarga.
Vasektomi, yang mensterilkan pria dan menghentikan kemampuannya memiliki anak, bertentangan dengan konstruksi sosial ini. Banyak pria menganggap prosedur ini sebagai "pengkhianatan" terhadap peran mereka.Â
Mereka adalah pewaris nama keluarga dan pelindung garis keturunan. Vasektomi dianggap mengurangi kemampuan biologis untuk memiliki anak. Ini juga mengancam status mereka sebagai pria dengan maskulinitas penuh.
Ini bukan hanya soal prosedur medis, tetapi juga harga diri. Vasektomi dianggap ancaman terhadap definisi dasar kejantanan. Kejantanan diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan keturunan.
Stigma Sosial & Narasi 'Kebiri'
Salah satu faktor penolakan terhadap vasektomi adalah stigma sosial. Media sering mengasosiasikan vasektomi dengan kebiri. Kebiri memiliki konotasi kuat dengan kehilangan "kejantanan."Â