Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dislike Gibran dan Polarisasi Sosial dalam Perspektif Sosiologi Digital

27 April 2025   14:00 Diperbarui: 23 April 2025   23:38 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar situs yang menampilkan like and dislike video monolog Gibran Rakabuming Raka, Rabu (23/4/2025).(KOMPAS.COM)

Fenomena dislike terhadap Gibran mencerminkan polarisasi sosial digital yang semakin tajam dalam masyarakat Indonesia.

Baru-baru ini, ada fenomena menarik yang muncul dari video Gibran Rakabuming Raka. Video monolognya tentang bonus demografi diunggah di kanal YouTube miliknya. 

Video ini menarik perhatian banyak orang, namun juga mendapatkan dislike yang sangat banyak, yakni lebih dari 108 ribu dislike dan hanya 44 ribu like. 

Angka dislike yang sangat besar ini jelas menunjukkan ketidaksukaan yang besar. Kita perlu melihat lebih jauh untuk memahami arti fenomena ini.

Di Balik Angka Dislike yang Mencolok

Angka dislike yang tinggi bukan hanya reaksi spontan terhadap pesan Gibran. Fenomena ini mencerminkan perpecahan sosial yang semakin tajam. 

Berdasarkan survei Universitas Indonesia pada Maret 2023, 57% masyarakat mendukung pemerintah, sementara 43% mendukung oposisi. Hal ini menunjukkan dua kutub pemikiran yang terpisah, semakin diperburuk oleh algoritma media sosial.

Media sosial menciptakan "bubble" digital, ruang terisolasi di mana kita hanya melihat informasi sesuai pandangan kita. Fenomena ini disebut filter bubbles, yang mengurangi kesempatan untuk melihat pandangan berbeda. 

Gibran, yang mewakili pemerintah, menerima dislike besar. Ini bukan hanya ketidaksukaan terhadap Gibran, tetapi juga ketidaksetujuan terhadap pemerintah. 

Dislike ini menjadi simbol ketidakpuasan terhadap narasi politik yang ada.

Dislike Sebagai Protes Digital

Dalam kasus video Gibran, banyaknya dislike bisa jadi bentuk protes digital terhadap figur yang dianggap mewakili pemerintah.

Yang menarik, algoritma YouTube semakin memperbesar kemungkinan video yang banyak mendapat perhatian, baik positif atau negatif, untuk direkomendasikan lagi. 

Ini menciptakan lingkaran setan, di mana video provokatif semakin banyak dilihat, memperburuk ketegangan antar kelompok.

Dislike ini bukan hanya soal Gibran sebagai pribadi. Angka dislike menunjukkan ketidakpercayaan terhadap narasi politik yang ada. Ini juga mencerminkan krisis kepercayaan yang terjadi di Indonesia. 

Banyak orang lebih memilih menyuarakan ketidakpuasan di dunia digital daripada berdiskusi secara langsung. Dislike bukan hanya angka, tapi simbol ketidakpuasan terhadap pemerintah dan kondisi politik saat ini.

Polarisasi Digital Sebagai Realita

Media sosial berperan besar dalam memperburuk polarisasi ini. 

Platform seperti YouTube, Facebook, dan Twitter menjadi medan pertarungan antar kelompok dengan pandangan berbeda. Setiap pendapat yang berbeda dianggap ancaman, bukan kesempatan berdialog.

Apakah ini jalan yang kita inginkan? Apakah kita ingin terjebak dalam ruang gema, di mana hanya pandangan kita yang didengar? 

Jika kita tetap terperangkap dalam bubble digital, kita semakin terpisah dan sulit memahami pandangan lain. Ini adalah tantangan besar bagi masyarakat digital.

Kita harus berhati-hati dalam menyikapi fenomena ini. Jangan lihat ini hanya sebagai ketidaksukaan terhadap individu. Kita perlu berpikir apakah kita ingin terus terjebak dalam pola ini, ataukah membuka ruang untuk dialog yang lebih konstruktif. 

Jika tidak, polarisasi digital ini hanya akan memperburuk keadaan, dan kita semua yang akan rugi.

Kesimpulan

Dislike terhadap video Gibran menunjukkan polarisasi digital yang semakin mengakar di Indonesia. Polarisasi ini bukan hanya soal politik, tetapi juga bagaimana media sosial memperburuk ketegangan antar kelompok. 

Dislike mencerminkan ketidakpercayaan dan ketidakpuasan. Namun, itu juga bisa menjadi awal perubahan jika kita menyikapinya dengan bijaksana. 

Dialog yang terbuka, konstruktif, dan penuh empati penting untuk mengatasi polarisasi. 

Di dunia digital yang kompleks, kita harus menjaga keseimbangan dan menghindari terjebak dalam ruang gema yang memperburuk perpecahan.

***

Referensi:

  • Media sosial dan jerat fanatisme politik. (n.d.). detikNews. https:  //news.  detik.  com/kolom/d-7154534/media-sosial-dan-jerat-fanatisme-politik
  • Tomo, R. M. O. (2024, October 9). Media sosial: Sumber polarisasi? kumparan.com. https:  //kumparan.  com/rahiel-mikyal-orensky-tomo/media-sosial-sumber-polarisasi-23gKqI7BiDs
  • Momentum lebaran 2025: Merajut persatuan di tengah polarisasi politik. (2025, April 1). Antara News. https:  //sulteng.  antaranews.  com/berita/344141/momentum-lebaran-2025-merajut-persatuan-di-tengah-polarisasi-politik

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun