Eksibisionisme di KRL mencerminkan ketimpangan gender dan pentingnya perubahan sosial yang menyeluruh.
Kasus eksibisionisme yang terjadi di KRL relasi Parung Panjang – Tanah Abang baru-baru ini menunjukkan betapa dalamnya persoalan ketidaksetaraan gender di ruang publik kita.Â
Kejadian seperti ini bukan sekadar ketidaknyamanan, tetapi sebuah peringatan bahwa ada masalah yang jauh lebih besar.
Akar Masalah: Ketimpangan Gender di Ruang Publik
Melihat eksibisionisme hanya sebagai tindakan kriminal individu mengabaikan masalah yang lebih besar. Perspektif studi gender menunjukkan bahwa masalah ini berakar pada ketimpangan gender.Â
Pelaku masturbasi di depan perempuan di KRL bukan hanya melanggar hukum. Ini adalah bentuk dominasi seksual yang dilakukan pria, sebagai bagian dari budaya patriarki yang kuat.
Kasus ini menunjukkan bahwa ruang publik yang seharusnya aman untuk semua orang, termasuk perempuan. Namun nyatanya, banyak perempuan merasa terancam di tempat seperti transportasi umum.Â
Mereka menghadapi pelecehan yang sering dianggap sepele, padahal dampaknya besar bagi mereka.
Pada tahun 2023, Komnas Perempuan mencatat 289.111 kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa ketidaksetaraan gender dan pelecehan seksual terjadi tidak hanya di ruang pribadi, tapi juga di ruang publik.Â
Transportasi umum, seperti yang kita tahu, adalah tempat rawan pelecehan seksual. Survei KRPA menunjukkan bahwa transportasi umum adalah lokasi pelecehan, terutama selama pandemi.Â
Bahkan, 1 dari 3 perempuan yang menggunakan transportasi umum mengalami catcalling atau pelecehan verbal lainnya. Masalah ini bukan hanya masalah individu, tapi masalah struktural yang jauh lebih kompleks.