Lebaran 1987 berbeda saat Soeharto batalkan Halalbihalal Istana. Mengapa tradisi penting ini ditiadakan?
Lebaran bukan sekadar hari raya di Indonesia. Lebaran adalah puncak dari perjalanan spiritual Ramadan. Di mana kemenangan melawan hawa nafsu dirayakan dengan meriah. Dan dalam perayaan itu. Halalbihalal punya tempat khusus.Â
Tradisi ini adalah momen di mana orang-orang berkumpul. Berjabat tangan. Saling memaafkan. Dan bagi pejabat pemerintah, ajang menunjukkan eksistensi. Â
Tapi Lebaran 1987 berbeda dari biasanya. Presiden Soeharto membuat keputusan mengejutkan. Membatalkan acara Halalbihalal di Istana Negara. Keputusan yang diikuti oleh para pejabat di berbagai daerah.Â
Dalam laman Berita Harian, Soeharto mengumumkan bahwa pembatalan ini adalah upaya menanamkan nilai hidup sederhana di tengah masyarakat. Â
Sebuah langkah sederhana. Tapi jika ditelusuri lebih dalam. Keputusan ini bukan sekadar membatalkan seremonial.Â
Keputusan ini membawa pertanyaan lebih besar. Apa kesederhanaan bisa diajarkan dengan cara ini? Apa sebuah tradisi bisa dihentikan tanpa mengubah esensinya? Apakah keputusan ini benar berdampak yang diharapkan? Â
Ketika Tradisi Ditiadakan Â
Tradisi halalbihalal mengakar kuat dalam budaya Indonesia. Ada dua versi cerita tentang asal-usulnya. Â
Versi pertama menyebut bahwa istilah Halalbihalal berasal dari seorang pedagang martabak di Solo. Yang menggunakan frasa ini untuk menarik pembeli Muslim setelah Idulfitri.Â
Sementara itu, versi yang banyak diterima adalah, Halalbihalal pertama kali diinisiasi oleh KH Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1948.Â
Menurut Kementerian Agama RI, tradisi ini awalnya diperkenalkan sebagai cara untuk meredakan ketegangan politik di antara para elit negeri pasca kemerdekaan.Â
Dengan mengumpulkan tokoh-tokoh yang berselisih dalam satu acara silaturahmi. Halalbihalal jadi simbol rekonsiliasi. Â
Seiring berjalannya waktu. Halalbihalal berkembang jadi tradisi tahunan. Terutama di kalangan pejabat pemerintah. Istana Negara pun rutin mengadakan acara ini. Mengundang tokoh-tokoh politik. Pejabat, dan pemuka agama untuk hadir. Â
Di tahun 1987, semua mendadak berubah. Soeharto tiba-tiba membatalkan acara Halalbihalal di Istana Negara. Dan mengimbau agar para pejabat mengikuti jejaknya. Alasannya? Kesederhanaan. Â
Sebuah keputusan yang tampak berlandaskan niat baik. Tapi menyisakan banyak pertanyaan. Â
Lebih dari Seremoni Â
Keputusan membatalkan Halalbihalal bisa dimaknai dari beberapa sudut pandang. Â
Pertama, jika melihat dari sisi idealisme. Mungkin Soeharto ingin mengingatkan bahwa esensi Idulfitri bukanlah seremoni besar-besaran. Melainkan refleksi spiritual.Â
Tradisi Halalbihalal. Yang awalnya bernilai luhur. Bisa saja berubah menjadi sekadar rutinitas formal tanpa makna mendalam.Â
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Tempo.co. Yang menyoroti bagaimana Halalbihalal di era modern kerap kehilangan substansi. Hanya jadi ajang basa-basi politik. Â
Ada juga sudut pandang lain. Keputusan ini bisa saja bagian dari strategi citra.Â
Soeharto, yang dikenal sebagai pemimpin yang sangat memperhatikan bagaimana dirinya dipersepsikan oleh rakyat. Mungkin ingin menegaskan bahwa ia adalah sosok sederhana. Pemimpin yang peduli dengan kehidupan rakyat kecil.Â
Dengan membatalkan Halalbihalal. Ia mengirimkan pesan bahwa pejabat negara tidak boleh terlena dengan kemewahan seremoni. Melainkan harus lebih membumi. Â
Tapi apa pesan ini benar-benar sampai? Â
Teladan Pemimpin Â
Keputusan ini menciptakan efek domino. Pejabat di pusat dan daerah, yang biasanya mengadakan Halalbihalal dengan format besar. Ikut membatalkan acara mereka.Â
Dalam Berita Harian, disebutkan bahwa pembatalan ini menyebabkan perayaan Lebaran di kalangan birokrat terasa "sepi". Dibanding tahun-tahun sebelumnya. Â
Dari segi moral. Langkah ini bisa dilihat sebagai upaya untuk menanamkan nilai kesederhanaan. Seorang pemimpin harus memberi contoh dulu. Jika ingin rakyatnya mengikuti.
Kritik langkah ini juga muncul.Â
Dalam Tempo.co, disebut bahwa pembatalan Halalbihalal tidak serta-merta membuat pejabat lebih sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Justru, banyak yang melihat ini sebagai simbolisme belaka.Â
Sebuah keputusan yang tampak besar. Tapi tidak membawa perubahan nyata dalam cara pejabat menjalani hidup mereka. Â
Halalbihalal tetap kembali di tahun-tahun berikutnya. Artinya, meski Soeharto sempat menghentikannya. Tradisi ini tidak benar-benar hilang. Â
Kesederhanaan yang Menginspirasi? Â
Jika ada satu pelajaran yang kita ambil dari keputusan Soeharto.Â
Itu adalah bagaimana sebuah tradisi. Sekokoh apapun, tetap bisa dipertanyakan dan diubah. Halalbihalal yang mendarah daging di Indonesia. Ternyata bisa saja ditiadakan. Meski hanya untuk sementara. Â
Namun, pertanyaan lebih besar. Apa esensi dari sebuah tradisi bisa tetap hidup meski bentuknya berubah? Â
Jika melihat ke masa sekarang. Halalbihalal masih tetap ada. Tapi sering kehilangan makna asli.Â
Acara yang digunakan sebagai ajang rekonsiliasi. Kini jadi formalitas belaka. Kita lihat para pejabat berjabat tangan. Tersenyum di depan kamera. Lalu kembali ke meja mereka. Tanpa ada perubahan berarti dalam hubungan atau kebijakan. Â
Dan mungkin. Inilah poin yang ingin disampaikan Soeharto di tahun 1987. Bahwa sebuah tradisi harus memiliki makna. Bukan sekadar seremoni kosong.
***
Referensi:
- Asal usul halalbihalal di indonesia dan hikmahnya. (n.d.). Tempo.co. Retrieved March 26, 2025, from https: //www. tempo. co/ramadhan/asal-usul-halalbihalal-di-indonesia-dan-hikmahnya-69897
- Kementerian Agama RI. (2022, May 10). Budaya Halal Bihalal Khas Muslim Indonesia. Kemenag.go.id. Retrieved March 26, 2025, from https: //kemenag. go. id/read/budaya-halal-bihalal-khas-muslim-indonesia-8j7r4
- Lega karena tiada? (n.d.). Tempo.co. Retrieved March 26, 2025, from https: //www. tempo. co/politik/lega-karena-tiada-1061791
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI