Laman dari Pena Mabda (2024) menunjukkan bahwa banyak guru honorer di Indonesia yang menerima gaji di bawah standar, bahkan ada yang hanya mendapatkan penghasilan kurang dari Rp 500.000 per bulan.Â
Hal ini memaksa mereka untuk mencari pekerjaan sampingan demi memenuhi kebutuhan hidup.Â
Bahkan, sekitar 13% guru honorer di Indonesia menerima gaji yang sangat minim, yang tentunya berdampak pada kualitas pendidikan yang mereka berikan.Â
Gaji rendah ini tentu saja mempengaruhi kualitas pengajaran mereka, serta motivasi untuk terus mengabdi di dunia pendidikan.
Di sisi lain, ketidaksetaraan dalam fasilitas pendidikan juga semakin terlihat.Â
Sekolah-sekolah di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) sering kali kekurangan fasilitas dasar, sementara sekolah-sekolah di kota besar memiliki fasilitas yang jauh lebih lengkap dan modern.Â
Pena Mabda (2024) menyoroti kesenjangan ini, yang semakin memperburuk ketimpangan sosial dan pendidikan di Indonesia.Â
Padahal, pendidikan harusnya bisa menjadi alat untuk menciptakan kesetaraan, bukan justru memperlebar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Pendidikan Kritis Sebagai Solusi
Di tengah tantangan-tantangan besar yang dihadapi oleh pendidikan Indonesia, pendidikan kritis muncul sebagai solusi yang menjanjikan.Â
Pendidikan kritis, seperti yang dijelaskan oleh Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, adalah pendekatan yang mengedepankan dialog antara guru dan siswa, di mana keduanya saling belajar dan mengkritisi struktur sosial yang ada.Â
Dalam pendidikan kritis, guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator yang membimbing siswa untuk memahami dan menantang ketidakadilan yang ada di masyarakat.