Dewantara percaya bahwa pendidikan adalah senjata utama untuk memerangi ketidakadilan sosial dan politik, dan melalui pendirian Taman Siswa, beliau berusaha membuka akses pendidikan untuk semua anak bangsa.Â
Seperti yang dijelaskan dalam artikel Good News from Indonesia (2024), Dewantara melihat pendidikan sebagai alat pembebasan dari segala bentuk penindasan dan sebagai sarana untuk membentuk karakter bangsa yang merdeka dan berpikiran kritis.
Realitanya, warisan kolonial yang membatasi akses pendidikan ini masih terasa hingga hari ini.Â
Walau Indonesia telah merdeka lebih dari tujuh dekade, kita masih menghadapi masalah ketimpangan pendidikan yang kasat mata, baik dari segi kualitas maupun akses.Â
Dicatat oleh Antara News (2024), salah satu masalah utama adalah minimnya representasi pengetahuan lokal dalam kurikulum pendidikan.Â
Hal ini membuat pendidikan di Indonesia kurang inklusif dan tidak mencerminkan keragaman budaya serta kebutuhan masyarakat lokal.
Tantangan Sistem Pendidikan Modern
Masalah utama pendidikan Indonesia saat ini bukan hanya berkutat pada warisan kolonial, tetapi juga dihadapkan pada tantangan kapitalisme global yang semakin menggerus esensi pendidikan itu sendiri.Â
Di bawah sistem kapitalisme, pendidikan diubah menjadi sebuah komoditas yang lebih berfokus pada hasil ujian dan pencapaian ekonomi, daripada pembentukan karakter dan kesadaran sosial.Â
Tety Kurniawati (2024) dalam artikelnya di Gudang Opini mengungkapkan bahwa sistem pendidikan yang berorientasi pasar ini menuntut guru untuk memenuhi target-target kurikulum yang kerap kali tidak relevan dengan kebutuhan nyata siswa.Â
Alih-alih mengembangkan kemampuan berpikir kritis, pendidikan malah lebih banyak berfokus pada standar yang ditetapkan oleh pasar.
Tak hanya itu, para guru juga terjebak dalam sistem yang penuh dengan tekanan administratif dan beban kerja yang berat.Â