Coretax diluncurkan untuk mempermudah pajak, tapi malah menyulitkan wajib pajak. DPR turun tangan, DJP mengalah.
Idiom 'kalau bisa dipersulit, kenapa harus dibikin mudah?' nampaknya sudah menjadi way of life di Indonesia. Kita dengan mudah melihatnya pada Coretax. Sistem pajak baru yang diluncurkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 1 Januari 2025.Â
Seharusnya, sistem ini bisa meningkatkan efisiensi dan akurasi pelaporan pajak.Â
Tapi kenyataannya? Gangguan teknis, sistem crash, hingga data wajib pajak yang berantakan justru membuat banyak orang frustrasi.Â
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Coretax gagal memenuhi ekspektasi? Dan yang lebih penting, bagaimana cara menghindari kesalahan seperti ini di masa depan? Â
Implementasi Coretax yang Tergesa-gesa Berujung Masalah Â
Sejak awal, Coretax dirancang untuk menjadi sistem perpajakan yang lebih modern dan efisien.Â
Menurut Reuters, sistem ini dikembangkan bekerja sama dengan perusahaan teknologi asal Korea Selatan, LG CNS.Â
Coretax digadang-gadang sebagai solusi digitalisasi pajak yang akan meningkatkan kepatuhan dan transparansi wajib pajak.Â
Tapi masalah muncul ketika sistem ini langsung diterapkan secara nasional tanpa uji coba bertahap.Â
Begitu Coretax mulai digunakan, banyak wajib pajak melaporkan kesulitan mengakses sistem, data yang tidak cocok, hingga seringnya error saat proses pelaporan pajak. Â