"Berlayar cepat ke arah dermaga yang benar", agaknya frase inilah yang terpenting untuk diberi penekanan. Hampir satu dasawarsa (20082018) Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi memimpin NTB, ia berikhtiar keras mendorong percepatan pembangunan. Segenap komponen masyarakat diajaknya turut serta. Sejumlah program pembangunan dijadikan unggulan.
Semuanya untuk menjawab tiga tantangan mendasar pembangunan di NTB. Pertama, pembangunan manusia yang tertinggal. Kedua, pembangunan infrastruktur yang stagnan. Ketiga, pengelolaan sumberdaya yang belum produktif dan berkelanjutan. Ketiga tantangan besar di atas, bermuara pada satu persoalan kongkret yaitu kemiskinan.
Di era TGB, gaung melawan kemiskinan bergema dengan kuat. Kinerja penanggulangan kemiskinan mencapai titik yang boleh jadi terbaik dalam sejarah NTB. Bahkan pada September 2015, TGB memberikan testemoninya di hadapan sidang Umum PBB di New York Amerika Serikat, atas prestasi pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) di NTB yang dinilai salah satu yang progresif di kawasan Asia.
Merujuk data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), sejak 2006 hingga 2016 penurun kemiskinan di NTB rata-rata 0,56 persen tiap tahunnya.Tercepat ketiga setelah Maluku (0,61 persen) dan Papua (0,57). Bahkan pada periode pertama TGB memimpin NTB (2009-2013), akumulasi penurunnya 1,3 persen pertahun. Persentase penduduk miskin NTB menurun 7,38 persen selama periode 2008-2016. Yaitu dari 23,40 persen pada 2008 menjadi 16,02 pada 2016 penurunan jumlah penduduk miskin juga terjadi. Jika pada 2010 tercatat lebih dari satu juta jiwa penduduk miskin, maka pada Maret 2017 menyusut menjadi 793 ribu jiwa.Â
Selain penurunan prosentase dan jumlah penduduk miskin yang progresif, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan NTB juga relatif terjaga. Terjadi flungtuasi tetapi tidak tajam dan kontras. Pada Maret 2017 tercatat indeks kedalaman kemiskinan NTB sebesar 3,13. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan pada periode yang sama tercatat 0,84.
Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Sementara indeks keparahan kemiskinan mengindikasikan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin kecil indeks pertanda semakin baik, menunjukkan terjadinya perbaikan derajat ekonomi di lapisan penduduk miskin. Berpotensi besar untuk melewati garis kemiskinan.Â
Di satu sudut kinerja kemiskinan di NTB di era TGB memang patut mendapat apresiasi. Sekalipun demikian, tantangan dan pekerjaan rumahnya masih sangat besar dan kompleks. NTB masih termasuk 10 provinsi termiskin di Indonesia. Kelompok rentan miskin juga tinggi. Total jumlah penduduk miskin dan rentan miskin di NTB mencapai 2,4 juta jiwa. Kurang lebih separuh (50 persen) dari total penduduk NTB. Bandingkan dengan Papua (47%), Maluku (42%), dan Papua Barat (38%).
Sementara Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat tercatat sebagai kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terbanyak, di atas 100 ribu jiwa. Fakta di atas menunjukkan besar dan beratnya tantangan penanggulangan kemiskinan di NTB. Bukan hanya harus fokus mengentaskan sekitar 800 ribu jiwa orang miskin, namun juga diharuskan menjaga sekitar 1,6 juta jiwa yang rentan miskin. Bagaimana menjaga mereka tidak jatuh ke jurang kemiskinan, sekaligus memastikan mereka menjauh dari garis kemiskinan.
Rentan miskin berarti rapuh dengan daya tahan sosial ekonomi yang lemah. Satu guncangan saja bisa membuat mereka jatuh. Menjaga kelompok yang rentan ini bukan pekerjaan yang mudah. Jumlah mereka dua kali lebih besar dari yang miskin dan umumnya mereka mereka butuh akses kepada sumberdaya. Pemberdayaan dan penguatan kapasitas dan juga kebijakan dan regulaasi yang memihak mereka menjadi kuncinya. Tanpa itu, kelompok rentan miskin ini akan cepat sekali tergelincir masuk ke jurang kemiskinan. Menambah beban kerja penanggulangan kemiskinan yang sejatinya sudah dirasakan berat itu.
Karakteristik penduduk miskin NTB