Mohon tunggu...
ahmad zakkyy
ahmad zakkyy Mohon Tunggu... mahasiswa

Saya adalah fresh graduate dari Akademi Metrologi dan Instrumentasi (AKMET) dengan minat pada bidang kalibrasi, teknologi, kepenulisan, dan literasi. Aktif di berbagai organisasi serta berpengalaman sebagai content writer di platform edukasi dan literasi, saya terbiasa menulis artikel seputar teknologi, pendidikan, hingga kisah inspiratif dari pengalaman pribadi. Menulis bagi saya adalah ruang untuk berbagi pemikiran, memperluas wawasan, sekaligus berdialog dengan pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Duck Syndrome: Fenomerna Psikologis di Balik Senyum Tenang Anak Muda

28 September 2025   00:30 Diperbarui: 28 September 2025   00:30 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah melihat seseorang yang tampak sukses, ceria, dan hidupnya terlihat lancar-lancar saja---padahal diam-diam ia sedang berjuang keras menahan tekanan hidup? Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah Duck Syndrome atau Sindrom Bebek.

Fenomena psikologis ini pertama kali dipopulerkan di Stanford University, Amerika Serikat. Analogi yang digunakan sederhana: bebek terlihat tenang saat mengapung di air, tapi di bawah permukaan ia mengayuh kakinya dengan cepat agar tidak tenggelam. Begitu juga manusia---tampak tenang, tapi sebenarnya penuh kecemasan dan tekanan.

Apa Itu Duck Syndrome?

Duck Syndrome menggambarkan kondisi di mana seseorang berusaha keras memenuhi tuntutan hidup (akademik, pekerjaan, atau sosial), tapi tetap ingin terlihat baik-baik saja di mata orang lain. Fenomena ini banyak dialami oleh anak muda, mahasiswa, hingga pekerja awal karier.

Meski belum masuk kategori resmi gangguan mental menurut DSM-5 atau ICD-10, sindrom ini erat kaitannya dengan stres, kecemasan, hingga depresi.

Penyebab Duck Syndrome

Beberapa faktor yang bisa memicu kondisi ini, antara lain:

  • Tuntutan akademik & pekerjaan: nilai bagus, lulus tepat waktu, atau target karier tertentu.

  • Ekspektasi keluarga & lingkungan: dorongan untuk "selalu jadi yang terbaik".

  • Perfeksionisme: merasa gagal kalau tidak mencapai standar tinggi.

  • Pengaruh media sosial: sering membandingkan hidup dengan orang lain yang tampak "sempurna".

  • Self-esteem rendah: merasa diri tidak cukup baik.

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Healthy Selengkapnya
    Lihat Healthy Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun