Sebagai makhluk sosial, antar manusia tentu tidak bisa dilepaskan dari aktifitas interaksi. Seiring kemajuan zaman, interaksi tidak hanya dilakukan secara fisik atau tatap muka langsung, tapi bisa juga dilakukan secara virtual alias online. Banyak sekali platform di dunia maya yang bisa digunakan sebagai sarana untuk saling interaksi antar sesama. Tak heran jika media sosial di Indonesia banyak sekali penggunanya. Berbagai kalangan dari anak hingga dewasa, menghabiskan sebagian waktunya beraktifitas di media sosial.
Beraktifitas di media sosial memang tidak ada batasnya. Semua orang bisa bebas berekspresi, berpendapat, mengkritik, mendukung, memberikan inspirasi dan lain sebagainya. Semua orang bisa mengeksposes hasil temuannya, meminta dukungan publik untuk donasi, mencari pekerjaan, dan berbagai macam aktifitas lain yang bisa dilakukan. Kemudahan dan kecanggihan inilah yang kemudian disalahgunakan oleh sebagian oknum masyarakat untuk menyebarkan kegaduhan dalam bentuk hoaks, ujaran kebencian ataupun provokasi.
Atas nama kebebasan menyatakan pendapat diatur dalam undang-undang, seseorang bisa mengkritik orang lain sesuka hatinya. Kritik yang membangun memang diperlukan. Tapi kritik yang sifatnya subyektif dan disusupi konten kebencian, inilah yang kemudian mengkhawatirkan. Kenapa? Karena seringkali untuk meyakinkan orang, oknum ini seringkali menyusupkan ayat-ayat suci, seringkali menggunakan tokoh publik, padahal informasi yang dimunculkan belum tentu kebenarannya. Dan masyarakat yang tingkat literasinya rendah, tentu akan mudah terprovokasi dan menjadi korban.
Untuk itulah perlu penguatan literasi di tingkat masyarakt. Hal ini penting agar kita bisa memahami informasi tersebut secara utuh, tidak sepotong dan bisa memilah mana yang logis dan tidak, mana yang baik dan tidak. Jika literasi kita kuat, kita akan tahu pernyataan tokoh tersebut benar atau tidak. Literasi tidak hanya sebatas cek ricek, tapi juga akan menuntun kita bijak dalam bermedia sosial.
Bijak bermedia sosial ini penting dilakukan, karena semua kalangan beraktifitas di media sosial. Jangan kotori generasi penerus, dengan pesan-pesan yang menyesatkan. Kita tinggal di negara yang santun, negara yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal. Perpaduan literasi dan kearifan lokal, harus terus ditanakan dalam setiap bermedia sosial. Dengan demikian kita bisa berpikir terbuka, tidak selalu menyalahkan, tidak selalu mencari kejelekan dan merasa paling benar.
Untuk meredam antar sesama saling mengejek di media sosial, pemerintah pun berinisiatif membuat UU ITE. Namun berbagai anggapan muncul, UU tersebut untuk membungkam kebebasan berpendapat, membungkam ini itu, dan lain sebagainya. Memang beberapa pakar hukum manyatakan ada pasar karet, yang harus direvisi. Ketika ada usulan revisi, semestinya kita juga harus mengikuti tapi tetap memberikan pengawasan. Hal ini bentuk sebagai fungsi kontrol.
Mari kita gunakan tenaga dan pikiran kita pada hal-hal positif. Jangan lagi saling bertikai hanya karena persoalan yang tidak jelas. Ingat, kita adalah negara besar yang harus saling bergandengan tangan, tanpa harus mempersoalkan perbedaan. Salam toleransi.