Tidak hanya sampai di situ Ibnu Hajar sang komandan Yon Mobil pun juga menjamin keselamatan serta perlindungan untuk para petinggi ALRI D IV dalam proses menjelang Proklamasi Pemerintahan Gubernur ALRI D IV. Dari pertemuan Durian Rabung sampai pembacaan teks Proklamasi Gubernur ALRI di Ni'ih tanggal 17 Mei 1949.
Saat menjelang terjadinya perang besar mempertahankan Garis Demarkasi di desa Karang Jawa, Ibnu Hajar harus mengikhlaskan wakil andalannya Samideri Dumam dan 1 kompi pasukannya dari Yon Mobil untuk dijadikan kompi tempur utama dalam Komando Militer Daerah Tengah (KMDT) dengan pasukan yang dinamai pasukan Pengawal Garis Demarkasi atas permintaan Letkol Hasan Basry. Di sini Ibnu Hajar turut memuluskan membentukan KMDT dan memberikan jaminan bahwa pasukan dan wakil andalannya tersebut siap mendukung rencana yang dijalankan walau itu berat baginya.
Perang Garis Demarkasi memuncak, masyarakat di pusat kota Kandangan berduyun-duyun memasuki wilayah Demarkasi karena mendengar berita "Kota Kandangan Handak Dipalas Lawan Darah Walanda". Pusat dari Ibukota Afdeling Hulu Sungai tersebut menjadi kosong. Rencana penyerangan besar-besaran pasukan penjaga garis demarkasi dan seluruh kekuatan KMDT terhadap tangsi KNIL disetujui Letkol Hasan Basry. Penyerangan dilakukan pada tanggal 24 Agustus 1949.
Pengepungan dilakukan pada 3 penjuru pusat kota Kandangan yaitu di Selatan, Timur dan Utara. Saat sore tiba puncak pertempuran yang begitu hebat berlangsung di tangsi KNIL dan Polisi NICA. Tekanan demi tekanan terus dilakukan oleh pasukan KMDT dan Yon Mobile pimpinan Ibnu Hajar dan Samideri Dumam.
Kepulan asap dan api mulai menjilat angkasa, rumah-rumah serta pos Belanda di tangsi sudah dibumihanguskan.Â
Menjelang waktu senja tiba, Haderi atau Ibnu Hajar telah berada di depan pagar kawat berduri tangsi KNIL seraya berseru agar pihak KNIL menyerah. Tak lama setelah itu pada tiang bendera yang ada di dalam tangsi, perlahan merayap naik bendera Merah Putih yang begitu gagahnya berkibar mengipas cakrawala senja.
Warna kelam kemudian menyelimuti patriotisme para pejuang kemerdekaan di Kalimantan Selatan sejak "rasionalisasi" para pejuang bersenjata ALRI D IV Â untuk menjadi bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia.
Pembenahan di bidang organisasi hampir berlangsung lancar, namun tidak demikian halnya ketika penyempurnaan yang harus diterapkan di bidang ketenagaan.Â
Rasionalisasi personel yang menyangkut  30.000 anggota gerilyawan MPK ALRI (seperti yang dilaporkan Letkol Hasan Basry tanggal 2 September 1949 di Munggu Raya ) bukanlah hal yang mudah.
Kerangka acu rasionalisasi bidang ketenagaan oleh tim militer pusat menjurus kepada dua kategori, yaitu meneruskan karir kemiliteran dan kembali atau dikembalikan ke masyarakat.
Sebaliknya, bagi mereka yang tadinya secara hukum telah diakui menjadi anggota Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) juga harus dihadang dengan beberapa persyaratan teknis militer. Tidak sedikit yang kemudian dikembalikan ke masyarakat dengan pesangon sepotong kain, selembar surat penghargaan, dan uang beberapa rupiah.