Masalah pun tidak hanya sampai di situ saja. Sebagai imbas dari keptusan KMB dan realisasi dari UU Darurat No.4/1950 ( tentang peleburan pasukan KNIL kedalam APRIS) maka pada tanggal 28 Januari 1950 Letkol Sukanda Bratamenggala telah menerima bekas KNIL 1 kompi di bawah Letnan I Sualang dan 1 kompi bantuan dari Letnan Kotton. Sebagian anggota KNIL yang masuk dalam APRIS itu dijadikan pelatih dan komandan pasukan, dan mereka rata-rata dinaikkan pangkatnya dan sebagian besar mantan pejuang gerilya yang masuk APRIS malah berpangkat rendah dan prajurit biasa.
Hal ini justru melahirkan pergolakan yang sangat besar bagi para pejuang gerilya dimana sudah menjadi rahasia umum, serdadu KNIL ini sejak awal dibentuk oleh Belanda dengan tujuan menumpas para pejuang gerilya.
Serdadu KNIL yang notabene adalah "musuh" utama bagi para pejuang gerilya kini harus bergabung dan menjadi komandan-komandan mereka mantan gerilyawan pejuang kemerdekaan. Hal ini sudah pasti bagai sebuah tamparan dan hinaan yang begitu menyakitkan bagi para gerilyawan Banua kala itu.
Wajidi dalam bukunya "Tengkorak Putih" menyebutkan, "penyaringan mereka harus melaksanakan aturan-aturan yang ketat yang diberikan oleh pejabat-pejabat militer mantan anggota KNIL dari Jawa dan lebih celaka lagi menurut mereka , jabatan militer dan sipil yang terpenting terus diduduki oleh orang yang mereka pandang pernah bekerjasama dengan Belanda atau NICA atau diberikan kepada orang-orang di luar daerah. Inilah salah satu yang kemudian menjadi problem bagi rakyat dan terutama bekas pejuang gerilya'. Jiwa rakyat yang baru saja mendapat angin segar kemerdekaan kembali tertekan karena belum dapat sepenuhnya bekerjasama dengan mereka yang di masa penjajahan adalah kaki tangan Belanda.
Masalah kian memuncak ketika meleburnya mantan pejuang gerilya ke dalam tubuh APRIS dibarengi juga dengan masuknya para anggota KNIL. Mereka dipaksa untuk menerima KNIL yang pada masa perang kemerdekaan -- revolusi merupakan musuh besar mereka.
Ujung-ujungnya dari rasionalisasi tersebut masih menyisakan sejumlah aktivitas-aktivitas gerilya bersenjata lagi yang justru berangkat dari perasaan dilecehkan dan rasa ketidakadilan.
Pada tahun 1950 Letnan II Ibnu Hajar alias Haderi yang baru saja pulang tugas dari Pontianak kemudian melakukan desersi atau melarikan diri dari kesatuannya lengkap dengan senjata yang dimiliki. Mantan perwira ini kemudian membentuk sebuah pasukan yang bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT).
Aktifitas KRyT dianggap mengarah kepada makar, melawan hukum dan sering menyerang bekas ganggota KNIL. Letnan II Ibnu Hajar melihat banyak kawan seperjuanganya maupun mantan anak buahnya “dibuang” begitu saja bahkan diejek oleh mantan serdadu KNIL sebagai “tentara kampung tak layak jadi tentara nasional”.
Tak pelak semua perlakuan itu sangat menyakitkan hati Ibnu Hajar dan para mantan gerilyawan yang telah berperang mati-matian mempertahankan tanah air. Begitu juga yang terjadi pada sebagian mantan pasukan Tengkorak Putih yang menolak bergabung dengan Divisi Lambung Mangkurat. seperti yang Sebagian anggota pasukan Tengkorak Putih pimpinan Mutalsam di Rangas dan Batu Tangga (HST) yang bermarkas di Nateh di kemudian hari bergabung bersama KRyT pimpinan Ibnu Hajar.
Rentetan memori perjuangan yang dilukis di atas darah dan keringat para gerilyawan tersebut telah menyatukan jiwa patriotisme mereka yang jelas membuat tebal semangat primordialisme bagi para pelakunya.