Tampaknya di republik ini, kita tidak butuh sejarah, arsip, atau pernyataan resmi dari universitas ternama. Tidak perlu saksi, bukti foto, atau profesor yang bersuara lantang. Selama masih ada Roy Suryo dan dr. Tifa, apapun bisa dibentuk sesuka hati---asal viral, asal gaduh, asal trending.
Bayangkan, sudah berkali-kali Universitas Gadjah Mada (UGM)---kampus yang reputasinya tak perlu dijelaskan panjang lebar---mengonfirmasi bahwa Presiden Jokowi benar lulusan Fakultas Kehutanan. Bahkan Prof. Koentjoro, Ketua Majelis Wali Amanat UGM, sampai turun tangan. Tapi tentu saja, siapa Prof. Koentjoro dibanding Dr. Twitter dan Professor Photoshop?
Kita hidup di zaman ketika Roy Suryo, mantan Menpora yang lebih dikenal karena hobi menelusuri pixel foto, dan dr. Tifa, yang lebih sibuk menjadi "dokter spesialis pernyataan provokatif," merasa berhak lebih tahu soal daftar alumni UGM ketimbang institusinya sendiri. Hebat, bukan?
Mereka sangat konsisten mempersoalkan ijazah Jokowi, seolah-olah mereka punya tugas kenegaraan menjaga moralitas akademik bangsa. Padahal, kalau mereka sedemikian gigih menyuarakan kebenaran, mungkin baiknya mereka mulai dari ijazah-ijazah fiktif lain yang sudah terbukti palsu, bukan terus menuduh yang asli sebagai palsu hanya karena tidak sesuai dengan keyakinan pribadi.
Tentu saja, logika dan fakta bukan hal penting di sini. Yang penting adalah terus memelihara narasi "versi sendiri" agar jadi kebenaran versi WhatsApp group. Dengan demikian, setiap klarifikasi resmi akan terlihat seperti pengalihan isu, dan setiap hoaks akan naik kelas menjadi bukti kebangkitan nurani bangsa.
Akhirnya, publik pun jadi lelah. Tapi mungkin, memang itu yang diinginkan: lelah hingga percaya. Karena dalam dunia yang mereka bangun, bukan kebenaran yang penting, tapi keraguan yang abadi.
Dan untuk Roy Suryo dan dr. Tifa, jangan pernah menyerah. Sebab tanpa kalian, bangsa ini mungkin hanya akan percaya pada hal-hal membosankan seperti dokumen resmi, arsip akademik, atau kesaksian langsung.Viralitas dan trending lebih penting. Selamat datang di post-truth democracy, di mana opini publik dan proses demokrasi lebih dipengaruhi oleh emosi, kepercayaan pribadi, dan narasi yang menyesatkan daripada oleh fakta dan data yang objektif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI