Kampus — sering disebut sebagai mimbar akademik, ruang dialektika, bahkan pusat peradaban. Namun apakah semua itu sekadar jargon kosong tanpa isi? Ketika realitas yang dihadapi mahasiswa berbicara tentang represi, pembungkaman, dan kekerasan, maka kita perlu dengan jujur bertanya: Apakah kita masih pantas menyebut kampus sebagai ruang peradaban?
Kebebasan Berpikir yang Dirampas dalam Sunyi
Kebebasan berpikir bukan sekadar hak, ia adalah pondasi dari eksistensi pendidikan tinggi. Di kampus, mahasiswa diharapkan menjadi individu yang mampu berpikir kritis, menyusun nalar, dan menawarkan solusi bagi persoalan masyarakat. Namun realitas di berbagai perguruan tinggi di negeri ini menunjukkan sebaliknya. Diskusi publik dibatasi, ruang berkumpul dibubarkan, dan organisasi mahasiswa dicurigai.
Ketika mahasiswa baru dilarang berkumpul tanpa izin, ketika spanduk diskusi harus melalui kurasi birokrasi kampus, maka kita tengah menyaksikan bagaimana kampus menciptakan iklim ketakutan yang tersembunyi di balik kesan tertib. Padahal, justru dari diskusi dan kebebasan berpikir-lah sebuah masyarakat kampus dapat hidup dan berkembang. Apalah arti akreditasi unggul dan fasilitas lengkap, jika pikiran mahasiswanya tidak pernah dibiarkan tumbuh dengan bebas?
Represi dan Kekerasan: Luka Kolektif Mahasiswa
Lebih dari sekadar larangan administratif, represi terhadap mahasiswa kini telah menjelma menjadi kekerasan yang kasat mata. Mahasiswa yang mencoba menyampaikan aspirasi melalui demonstrasi tak jarang menjadi korban intimidasi dan kekerasan fisik. Ada yang dipukul, diseret, dan diancam. Bahkan ada yang mengalami persekusi verbal dari mereka yang seharusnya menjadi pelindung dan pendidik.
Lebih mengerikan lagi adalah ketidakpedulian. Birokrasi kampus bungkam saat mahasiswa mengalami luka — fisik maupun psikologis. Laporan-laporan kekerasan disangkal, dilenyapkan, atau dianggap “biasa”. Kepercayaan mahasiswa terhadap institusi pendidikan runtuh bukan karena provokasi dari luar, melainkan dari perlakuan kampus yang memperlakukan mereka sebagai ancaman, bukan sebagai manusia yang berpikir.
Dilarang Berorganisasi: Membungkam Nalar Kolektif
Organisasi kemahasiswaan adalah jantung dari kehidupan kampus. Ia adalah ruang belajar alternatif, tempat mahasiswa membentuk karakter, memahami tanggung jawab sosial, dan membangun solidaritas. Namun kini, organisasi mahasiswa berada dalam cengkeraman birokrasi. Larangan terhadap organisasi ekstra kampus, pembatasan kegiatan, bahkan pembakaran atribut organisasi oleh dosen adalah bentuk brutalisme simbolik terhadap ruang-ruang belajar mahasiswa.
Birokrasi kampus telah menjelma menjadi penjaga ideologis, yang hanya mengizinkan kegiatan yang mendukung reputasi institusi, bukan mendukung kebebasan berpikir. Semua aktivitas harus patuh pada satu hal: citra kampus. Ketika mahasiswa menantang status quo, mereka dianggap subversif, diradikalisasi, bahkan dikriminalisasi.