Mohon tunggu...
Ahmad Izzuddin
Ahmad Izzuddin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STITMA Blitar, Penikmat Kajian Filsafat, Pendidikan, dan Cinta

Hamba dhoif yang selalu berusaha mengenali diri sendiri dan menyelami hakikat hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manusia yang Berjuang untuk Tidak Memiliki Apa-Apa

4 Juli 2023   08:48 Diperbarui: 4 Juli 2023   13:33 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ahmad Izzuddin

"Kebahagiaan yang didapatkan dan dirasakan saat tidak memiliki apapun, merupakan kekayaan yang tidak dapat dicuri oleh siapapun". Itu merupakan gambaran yang tepat untuk menceritakan kisah perjuangan hidup beberapa orang dari 7 milyar manusia di atas hamparan bumi ini.

Disaat manusia berlomba-lomba untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, mereka menganggap kebahagiaan sejati adalah kondisi dimana ketika hidupnya memiliki materi yang melimpah dan tidak pernah kekurangan hingga beberapa keturunan. Dikala sebagian besar manusia menganggap jika ketenangan hidup di masa depan harus dilakukan dengan memperbanyak investasi dan property sehingga berada dalam keadaan dimana saat sedang tidurpun dia bisa menghasilkan uang.

Namun ada sebagian kecil manusia (bahkan sangat kecil sekali kuantitasnya), yang memiliki cara pandang berbeda terhadap kebahagiaan sejati dalam menjalani kehidupan. Ia menganggap jika dunia materi merupakan belenggu yang menyebabkan manusia menjadi terikat, apabila mendapatkan membuat ia menjadi budaknya karena harus menjaganya, ingin menambah dan tidak ingin kehilangan. Kaum ini menganggap jika kebahagiaan sejati tidak terdapat dalam kelebihan materi seperti kemewahan, jabatan, status sosial, atau sejenisnya. Kebahagiaan sejati terletak pada ketidaktergantungan pada hal yang bersifat duniawi.

Kaum ini juga meyakini jika yang bersifat material ini hanyalah tipu daya, yang memakan akan ketagihan dan yang meminumnya akan semakin kehausan, seperti ungkapan Jalaluddin Rumi "Sesuatu yang tampak di depan kita, bukanlah hakikat yang sesungguhnya. Yang tampak dari bumi hanyalah debunya, sementara dimensi dalamnya adalah emas permata." Disaat belum punya apa-apa manusia hanya menginginkan seratus, namun setelah mendapatkan yang seratus maka dia menginginkan seribu, ketika sudah mendapat seribu manusia menginginkan sejuta, begitu seterusnya sampai manusia itu mati, dan saat mereka mati semua yang dikumpulkan tidak ada yang dibawa. Fakta itu bagi orang yang berpikir mendalam dianggap sebagai proses perbudakan pada diri sendiri, karena setiap harinya digunakan untuk menuruti sesuatu yang hakikatnya semu.


Namun ada fakta berkebalikan, bagi kaum ini hidupnya digunakan bukan untuk berjuang mengumpulkan banyak harta, tetapi digunakan untuk berjuang agar tidak memiliki apa-apa. Mereka adalah orang-orang yang mapan secara ilmu pengetahuan, hatinya penuh tawakkal, pengalamannya banyak, berpikirnya mendalam, dan mengetahui intisari kehidupan.

Jika untuk hidup dalam satu hari manusia membutuhkan 2 piring nasi, maka orang-orang ini akan melakukan hal sekadarnya saja untuk bertahan hidup, seperti kata Socrates "aku makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan", selebihnya digunakan untuk melakukan hal yang lebih besar daripada mengumpulkan harta, yaitu memungut ilmu, mengembangkan diri, dan berjuang untuk menjadi orang yang bijaksana.

Dari sedikit manusia yang berjuang untuk tidak memiliki apa-apa, di dalamnya ada filsuf yunani, sahabat nabi sampai seorang kepala pemerintahan. Siapa saja dia? Mengapa mereka berjuang untuk tidak memiliki apa-apa? Apakah mereka mendapatkan kebahagiaan sejati dari prinsip hidup yang dijalani?

  • Socrates

Socrates hidup 970 tahun sebelum Nabi Muhammad lahir, dia dikenal sebagai orang yang tidak tampan, berpakaian sederhana, tanpa alas kaki, dan berkeliling mendatangi masyarakat Athena, berdiskusi soal filsafat. Socrates hidup sederhana dan dicela karena makan terlalu sedikit, maka dia menjawab "Aku makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan.

Socrates menganggap kebahagiaan sejati terdapat dalam kehidupan yang sederhana dan tidak tergantung dengan materi kebendaan yang berlebihan. Suatu ketika, salah seorang teman Socrates keheranan saat melihatnya di pasar sedang mengamat-amati barang-barang mewah yang dipamerkan. Ia lalu bertanya kepada Socrates mengapa ia repot-repot datang ke tempat perbelanjaan padahal tidak pernah membeli apa-apa. "Aku selalu senang datang ketempat perbelanjaan dan melihat betapa banyaknya barang yang hakikatnya tidak aku butuhkan," jawab Socrates.

Antisthenes yang pernah menjadi murid Socrates juga sangat tertarik pada kesederhanaan dan menganggap bahwa ketika seseorang bisa menemukan kebahagiaan sejati disaat hidup sederhana merupakan kebahagiaan sejati yang tidak akan pernah lepas. Namun jika orang menganggap kebahagiaan adalah kemewahan, maka kebahagiaan itu akan hilang jika kemewahannya luntur.

Diogenes merupakan seorang filsuf yang termasuk ke dalam mazhab sinis, mazhab sinis merupakan mazhab yang berakar pada ajaran Socrates. Motto mazhab sinis adalah "betapa banyak benda yang tidak kuperlukan!" kaum sinis beranggapan jika kebahagiaan sejati terletak kepada ketidaktergantungan manusia pada segala sesuatu yang acak dan mengambang. Karena kebahagiaan tidak tergantung pada hal materi, maka semua orang bisa meraihnya, dan kebahagiaan jenis ini begitu diraih maka tidak akan pernah lepas. Berbeda dengan kebahagiaan yang disandarkan pada materi, itu kebahagiaan yang akan mudah sirna.

Diogenes yang merupakan murid Antisthenes, memilih untuk hidup dalam sebuah tong dan tidak memiliki apapun kecuali sebuah mantel, tongkat, dan kantong roti. Suatu hari, ketika sedang asik duduk disamping tongnya menikmati cahaya matahari, ia dikunjungi oleh Alexander Agung. Sang maharaja berdiri di hadapannya dan bertanya "apakah yang dapat dilakukan untuk membantu Diogenes?" "ya" Diogenes menjawab "bergeserlah ke samping. Anda menghalangi saya yang sedang menikmati terik matahari. Dengan demikian Diogenes menunjukkan ia tidak kalah bahagia dengan maharaja yang ada di depannya, Diogenes merasa sudah memiliki segalanya dan hidupnya sudah bahagia.

Abdurrahman bin Auf merupakan salah satu dari 10 sahabat Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga. Ia dikenal sebagai pedagang yang cerdas, juga memiliki kekayaan yang berlimpah, namun ada momen di mana Abdurrahman bin Auf justru berharap menjadi orang miskin.

Namun dengan kekayaannya yang dimiliki, dia justru menangis karena khawatir akan masuk surga paling terakhir. "Suatu ketika Rasulullah berkata, Abdurrahman bin Auf akan masuk surga terakhir karena terlalu kaya, sehingga dihisabnya paling lama. Mendengar hal tersebut Abdurrahman bin Auf pun berpikir keras, bagaimana caranya agar ia kembali menjadi miskin supaya dapat memasuki surga lebih awal," tuturnya.
Agar jatuh miskin, Abdurrahman bin Auf pernah menyedekahkan separuh hartanya pada zaman Nabi. Setelah itu ia bersedekah lagi sebanyak 40.000 dinar yang kebanyakan harta bendanya diperoleh dari hasil perdagangan.

Dia pernah bertanya lokasi pasar yang ada di Madinah saat itu. Setelah dicari tahu, ternyata harga sewa pasar di Madinah sangat mahal, banyak orang-orang yang ingin berdagang namun tidak ada modal besar untuk menyewa tempat. Abdurrahman bin Auf membeli tanah itu dan menjadikannya sebagai kavling-kavling kemudian mempersilakan siapa pun untuk berdagang di atas tanah tersebut tanpa dikenakan biaya sewa.

Abdurrahman bin Auf pernah memberikan 200 uqiyah emas (1 uqiyah setara dengan kurang lebih 31 gram) untuk memenuhi kebutuhan logistik selama perang Tabuk. Saat ada seruan untuk berinfak dari Rasulullah SAW, ia tak pernah berpikir panjang dan ragu-ragu. Begitupun saat perang Badar yang jumlahnya mencapai 100 orang, dia memberikan santunan 400 dinar kepada masing-masing veteran. Abdurrahman bin Auf juga menyumbangkan 40 ribu dinar, 500 ekor kuda, dan 1.500 unta untuk para pejuang.
Tidak hanya itu, dia juga pernah bersedekah dengan membeli semua kurma yang hampir busuk dari para sahabat di Madinah. Semua pedagang pun sontak gembira karena kurma mereka bisa dijual, dan setelah itu Abdurrahman bin Auf bahagia karena cita-citanya untuk miskin kesampian. Namun apa yang terjadi selanjutnya?

Tiba-tiba ada seseorang yang datang dan mengaku berasal dari utusan Yaman. Dia memberitakan bahwa di negerinya sedang terkena wabah penyakit menular, sehingga rajanya mengutus dirinya untuk mencari kurma busuk sebagai obatnya. Menurutnya, kurma busuk adalah salah satu obat yang bisa menyembuhkan dari penyakit menular itu. Abdurrahman bin Auf ingin menggratiskan kurma busuk itu, namun raja Yaman  memegang gengsi yang tinggi dan akhirnya utusan raja Yaman tersebut memborong semua kurma milik Abdurrahman bin Auf dengan harga 10 kali lipat dari harga kurma biasa, Abdurrahman bin Auf pun menjadi kaya raya kembali.

Mujica adalah presiden Uruguay ke -40 pada periode 2010-2015. Sang Presiden yang mengalami masa kecil kesulitan keuangan dan bekerja sebagai pengantar barang untuk toko roti, sehingga saat menjadi Presiden, ia memutuskan untuk hidup bersahaja.

Bagi Mujica, uang dan jabatan bukanlah segalanya, ia sempat bergaji hingga 12.000 dolar per bulan. Namun upahnya sebagai presiden tersebut 90% disumbangkan untuk amal. Ia lebih memilih rumah pertanian ketimbang istana presiden. Ia tidak mengambil jatah rumah mewah di kompleks kepresidenan. Ia ingin menjauhkan diri dari perangkap kekuasaan, sehingga bersikeras untuk tinggal di tanah pertanian di pinggiran Monteviedo, Ibu Kota Uruguay.

"saya disebut Presiden termiskin, tetapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka yang hanya bekerja untuk mempertahankan gaya hidup yang mahal, dan selalu menginginkan lebih dan lebih." Kata Mujica. Ia menambahkan "Jika anda tidak memiliki banyak harta maka anda tidak perlu bekerja seumur hidup seperti budak untuk menopangnya, dan karena itu anda punya lebih banyak waktu untuk diri sendiri."

Mujica selama menjadi Presiden tidak mau dikawal protokoler karena menganggap bodyguardnya adalah rakyat, ia menolak uang pensiun, dan harta satu-satunya yang ia miliki adalah mobil klasik Beetle warna biru keluaran tahun 1987 dan rumah yang sangat sederhana sekali.

Untuk mempertahankan kehidupannya, sehari-hari ia dan istrinya menggarap lahan pertanian dengan menanam bunga krisan untuk dijual ke pasar lokal dan juga berternak ayam untuk menunjang perekonomiannya.

Sebenarnya masih banyak biografi orang-orang yang senafas dengan Socrates, Diogenes, Abdurrahman bin Auf, maupun Jose Mujica. Pembaca bisa menambah wawasan dan referensi dari buku-buku yang sabar menunggu untuk dibaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun