Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kalut (#5)

11 April 2021   10:10 Diperbarui: 11 April 2021   10:10 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(memorydrawing.com)

Di dinding kamar itu, tergantung beberapa buah foto yang tersusun secara diagonal. Paling atas, ada foto seorang gadis kecil tersenyum sambil memegang piala dan piagam penghargaan dalam sebuah kontes peragaan busana adat. Di bawahnya, terdapat foto seorang anak perempuan yang berseragam pramuka lengkap dalam suatu kegiatan perkemahan. Satunya lagi berupa foto liburan sebuah keluarga di pantai. 


Melihat foto-foto itu sekilas, siapa pun akan beranggapan anak perempuan di foto itu adalah anak yang ceria, cerdas, dan berprestasi. Si anak yang tak lain Erika, juga dikenal sebagai anak yang lincah dan energik. Saat SD, ia ikut ekstra kurikuler pramuka. Selain itu, ia juga berminat pada badminton. Dalam perkembangannya kemudian, pramuka lebih ia geluti daripada badminton. 


Kegemaran olahraga saat SD ini ternyata tak padam. Waktu SMP, ia memilih basket sebagai ekskul. Ia merasa cocok dan mulai serius berlatih. Hasilnya cukup mengejutkan. Orangtuanya bahkan tidak menyangka jika ternyata Erika berbakat dalam basket. Beberapa kali ia pernah mewakili sekolahnya dalam pertandingan basket antar sekolah. 


Hal itu terus berlanjut hingga SMA. Bahkan tim basket SMA-nya pernah meraih peringkat kedua di suatu turnamen. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan bagi sekolah maupun keluarga. Tak heran, di sisi dinding yang lain di kamarnya terpajang foto dirinya bersama tim basket sekolahnya dalam suatu kejuaraan beserta kalung medali juara yang digantung di bingkai foto bagian luar. 


Tak hanya sampai disitu, kegemarannya pada basket ini berhasil mengantarkannya masuk perguruan tinggi negeri lewat jalur bakat dan prestasi. Sebuah pencapaian yang mengagumkan. Saat ini, ia sedang menempuh perkuliahan pada program studi Sastra Jepang dan berada di semester empat. Kedua orangtuanya sangat bangga dengan hal tersebut. 


Selain olahraga, Erika punya hobi baca terutama komik. Sudah berkaca mata sejak kelas tiga, koleksi buku, majalah, dan komik miliknya cukup banyak dimana sebagian besar berupa manga. Tak hanya baca, ia juga tertarik menggambar kartun dan animasi. Pernah ikut les menggambar tapi ia merasa bakatnya bukan disitu. 


Orangtuanya sangat memperhatikan pendidikan Erika sejak kecil. Ini bisa dilihat dari sekolah yang dipilih mereka yaitu sekolah bilingual bertaraf internasional. Atas nama masa depan sang anak, biaya fantastis bukan masalah bagi mereka. Ada semacam kepuasan dalam diri orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah elit. Tak hanya gengsi didapat, tapi juga status sosial jadi meningkat. 


Tak dipungkiri pengaruh pendidikan begitu besar dalam kehidupan seseorang anak. Pendidikan komersial seringkali terjebak dalam dikotomi aspek kognitif dan intelektual di satu sisi serta aspek spiritual dan emosional di sisi lain. Berupaya menyeimbangkan keduanya, dalam praktiknya yang sering tampak di permukaan adalah dominasi IQ lebih besar dibanding SQ atau EQ. 


Dalam pendidikan komersial, prestasi akademik diporsir sedemikian rupa sementara pembentukan karakter dan kepribadian tidak terlalu dihiraukan atau diserahkan urusannya ke masing-masing anak karena dianggap ranah pribadi. Akibatnya, anak mungkin pintar secara akademis tapi jiwa dan mentalnya labil atau kurang matang. Pada gilirannya akan memberikan celah bagi munculnya masalah pada si anak di kemudian hari. 


Selain pendidikan, peranan orangtua sangat penting dalam kehidupan sang anak. Orangtua dengan akses dana yang tak terbatas, sulit lepas dari jebakan money oriented. Apapun bisa diselesaikan dengan uang termasuk pendidikan. Biaya sekolah yang tak masuk akal tak jadi soal bagi mereka. Fenomena ini tampak nyata dalam realitas kehidupan saat ini. 


Saat bersamaan, pola pikir transaksional menjalar bebas. Ingin anak pintar dan cerdas, jawabannya tentu saja sekolah elit. Seperti halnya beli barang kalau mau bagus dan berkualitas, tentu saja harganya tidak murah. Bagi mereka, pendidikan terbaik adalah yang mahal.

Pemikiran seperti ini bukan tidak berisiko. Merasa sudah menggelontorkan dana yang besar, si orangtua tentu tak mau rugi dan dengan segenap hati menyerahkan sepenuhnya pendidikan sang anak ke sekolah. Sebagai gantinya, sekarang giliran sekolah yang memberikan hasil dan bukti konkret kepada orangtua. 


Pada titik ini hubungan yang terbangun terlihat sinergis dan saling menguntungkan. Namun kondisi yang tampak baik itu sesungguhnya karena dilandasi oleh faktor uang. Cara pandang materialistis seperti ini pada dasarnya telah mereduksi hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Tidak sedikit masalah yang muncul akibat paradigma sempit ini. 


Dalam pendidikan berwatak materialistis, martabat guru tanpa disadari tercederai. Guru kerap hanya dipandang sebagai sebatas pengajar bukan pendidik. Guru digaji seolah hanya sebatas pemberi kepuasan jasa semata kepada murid. Ukuran keberhasilan guru hanya dilihat dari nilai atau prestasi akademis murid. 


Selain itu, guru terkadang tidak leluasa atau segan saat hendak menegur murid yang berulah atau bandel. Karena muncul kekhawatiran terhadap kepentingannya, menempatkan guru pada pilihan yang serba salah. Menyebabkannya tidak dapat berbuat banyak. Kemudian menganggapnya sebagai tugas atau tanggung jawab dari guru konseling semata. 


Dalam pendidikan bertabiat  materialistis, orangtua seringkali merasa cukup atau puas hanya dengan didikan yang diterima anak dari sekolah. Lalu berlepas diri dan menganggap tugas mereka sebagai orangtua sudah selesai karena telah membayar biaya pendidikan yang mahal. Bahkan muncul perilaku otoriter untuk menekan atau memaksa anak agar menuruti keinginan orangtua secara sepihak, tertutup, dan koersif. 


Pendidikan hakiki adalah yang memanusiakan manusia. Pendidikan seutuhnya tak hanya membuat anak pintar secara akademis tapi juga berbudi baik, luhur, dan terpuji. Pendidikan idealnya sinergi antara sekolah dan keluarga yang saling mendukung  dan menguatkan. Keduanya berperan penting dalam keberhasilan pendidikan dan kehidupan seorang anak di masa depan. 


Guru sebagai wakil orangtua di sekolah tidak hanya melakukan transfer ilmu pengetahuan tapi juga kloning kepribadian. Guru adalah contoh dan teladan bagi anak ketika di sekolah baik dalam hal ilmu maupun perilaku. Bagi guru, ini jelas tugas yang tidak main-main karena amanah yang diemban tidaklah ringan. Sehingga wajar kiranya jika si anak kemudian berhasil, pantaslah guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. 


Begitu pula orangtua. Sebagai orangtua sesungguhnya di rumah, harus mampu jadi role model bagi anak. Tidak hanya mengandalkan guru di sekolah, orangtua juga semestinya mendidik dan mengajari anaknya sendiri. Meneladankan dan mempraktikkan nilai-nilai moral dan spiritual ke anak dalam kehidupan sehari-hari. Melakukan dialog, interaksi, dan komunikasi dengan anak. Sehingga diharapkan tercipta kedekatan atau ikatan lahir maupun batin antara orangtua dan anak.
 
Pendidikan yang berat sebelah dan kelengahan orangtua dituding sedikit banyak memiliki andil terhadap kondisi Erika yang sekarang. Begitu pelik masalah yang merundungnya, membuat pikiran dan perasaannya sangat terguncang. Pada titik ini hampir-hampir ia tak sanggup lagi menyembunyikan apa yang sedang menderanya. Namun ia terus berusaha menguatkan dirinya. Sampai suatu saat ini semua tidak mungkin bisa ditutupi lagi. 


Di usia kandungannya yang sudah tiga bulan lebih, perlahan tapi pasti perubahan biologis, hormonal, dan psikologis berlangsung dalam dirinya. Beruntung hobi berolahraga selama ini dilakukan sedikit membantu dalam menyamarkan perutnya yang tampak mulai bumping. Namun agak sulit menutupi gejala mual dan muntah yang muncul walaupun jarang ia rasakan. 


Setelah pertemuan terakhirnya dengan Tomi, Erika kian hanyut dalam kesedihan yang mendalam. Mengharap ada sedikit titik terang, namun hanya kegelapan meliputinya. Seakan membentur tembok tebal dan tinggi, ia terpaksa menghadapi ini semua seorang diri karena dirinya maupun Tomi ngotot pada pendiriannya masing-masing.

Sebenarnya ia masih berharap pada Tomi walaupun Tomi sudah menghindar jauh darinya. Coba memberanikan diri, Erika kembali mengontak Tomi dengan harapan ia sudah agak tenang dan mau diajak bicara. Namun usahanya itu tak membuahkan hasil karena nomor kontak Tomi tidak dapat dihubungi lagi. 


Kini Erika semakin larut mengurung diri di kamarnya. Kondisinya mirip saat ia masih kecil dimana ia menghabiskan waktu weekendnya dengan seharian membaca komik kesukaannya di kamar. Terlintas kenangan indah di masa kecilnya. Tiap kali jalan-jalan sama Mama dan Papa, ia pasti minta mampir ke toko buku. Ini seperti agenda wajib bagi Erika. Keduanya memahami keinginan anaknya itu dan senang dengan kebiasaan tersebut. 


Ingin rasanya ia mengadu ke sang Mama tapi ia begitu takut dengan responnya. Ingatannya melayang ke masa kecilnya saat Mama mengajari naik sepeda. Saat ia terjatuh, Mama dengan sigap segera membantu, menenangkan, dan menyemangati. 


Di sela kesibukannya, Mama selalu menyempatkan diri hadir di setiap pertandingan basket yang diikuti Erika saat SMP juga SMA. Ia rindu dengan semua momen tersebut. Saat-saat dimana ia memerlukan dukungan atau motivasi, Mama selalu hadir untuknya di waktu yang tepat. 


Berbeda dengan Papa. Menurut Erika, meski kurang dekat secara personal, Papa punya cara sendiri dalam memberi perhatian padanya. Papa selalu ingat ulang tahun Erika. Di setiap ultahnya, Papa suka memberinya hadiah. Terkadang ia mengajak makan, nonton, jalan-jalan, dll. Namun bagi Erika, apa yang diperbuat Papa terkesan formalitas belaka. Menganggap dirinya seperti agenda kantor yang diberi tanda check list jika sudah selesai. 


Sebagai seorang pejabat, kadang weekend pun Papa jarang di rumah. Tak heran interaksi dan komunikasi dengannya merupakan kesempatan langka. Meski begitu, Papa tetap peduli padanya. Tak segan ia menunjukkan dukungan dan apresiasi atas setiap hal positif yang dikerjakan atau diraih Erika. 


Dalam dekapan haru-biru hati yang gundah gulana, tercipta sebuah puisi yang menyiratkan kekalutan dalam dirinya.

Di sudut kamar ini
Terasing ku sendiri
Membeku dalam kesepian
Hanyut dalam kehampaan

Temaram jiwa nan rapuh
Pedih pilu meliputi
Duka nestapa melingkupi
Kemana ku bawa derita ini?

Dalam dunia penuh fatamorgana
Masa indah itu telah sirna
Berganti awan hitam pekat
Menyapu habis impian sekejap

Gelora asmara membutakanku
Tergoda bujuk rayu
Tergores luka di hati
Torehkan noktah kelam tak terperi

Luapkan amarah sesaat
Benamkan akal sehat
Badai krisis jati diri mendera
Kemana ku cari pelipur lara?

Alangkah tragis hidup ini!
Bisik sang mahluk durjana
Terlintas tuk pergi selamanya
Gemuruh nurani meraung meronta

Bak bunga layu sebelum berkembang
Jatuh hancur tergerus
Beban moral terpaksa ku tanggung
Harga mahal harus ku tebus

Kini tinggal sesal melanda
Berlinang air mata tiada guna  
Merelakan lebih damaikan jiwa
Coba bangkit menanti pertanda  

Mengharap datang secercah cahaya
Tuk padamkan kekalutan sukma
Demi setitk asa tetap menyala
Tatap esok pagi penuh makna 

......
Menjadi saksi peristiwa sore itu, membuat Mama begitu risau dengan kondisi Erika. Sejak saat itu, ia semakin intens mengawasi gerak-gerik Erika. Ia melihat ada perubahan sikap misalnya saat diajak ngobrol, Erika tampak menghindar, tak ingin berlama-lama lalu segera menyudahi dengan atau tanpa alasan. 


Namun demikian, tak ada kejanggalan berarti yang ditemui Mama setidaknya sampai sejauh ini. Setiap berinteraksi dengan Erika, diam-diam Mama coba memperhatikan perut Erika namun ternyata terlihat biasa saja. Sebelum peristiwa sore itu, pernah Erika terdengar seperti mual tapi sangat jarang terjadi. Dan disangka Mama seperti masuk angin biasa saja. 


Di suatu kesempatan, Mama coba menanyakan keadaan Erika dan berusaha mengorek info darinya.
"Rika, kamu baik-baik saja, Nak?" tanyanya penuh perhatian.
"Baik, Ma," ujarnya datar.
"Betul baik-baik saja?" ulang Mama.
"Iya," sahutnya seperti hendak beranjak pergi. 


"Gimana kuliahmu?" lanjut Mama buru-buru bertanya.
"Kemarin udah mulai ke kampus lagi. Baru aktif bener minggu depan," jelasnya.
"Oh, gitu. Kalau perlu apa-apa, bilang ke Mama ya," katanya dengan lembut.
"Iya, Ma," jawabnya sambil berlalu. 


"Rika!" panggil Mama.
"Kenapa, Ma?" sambil membalikkan badan.
Mama ragu saat hendak menanyakan perihal Tomi lalu mengurungkan niatnya itu seraya berkata, "Jaga diri ya, Nak!"
Erika hanya tersenyum kecil lalu segera berlalu. 


Meski belum ada tanda-tanda yang jelas mengarah kesana, firasat Mama tetap sama dari awal. Pada saat nanti tabir ini tersingkap, Mama ingin mentalnya siap menghadapi segala kemungkinan. Walaupun Erika masih menghindar dan tutup mulut hingga saat ini, Mama berdoa agar Erika diberikan-Nya petunjuk dan jalan keluar yang terbaik dari kemelut ini. 

(bersambung) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun