Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kalut (#4)

28 Maret 2021   10:01 Diperbarui: 28 Maret 2021   10:03 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(besthqwallpapers.com)

Kantor itu menempati bangunan baru gedung dua lantai. Disertai pelataran parkir khusus tamu dan konsumen, dari bagian depan kantor itu kelihatan tidak terlalu luas. Namun orang akan terkecoh jika bergeser ke arah belakang. 

Di areal belakang, tersambung dengan bangunan depan, bangunan lama itu cukup bikin melongok bagi siapapun yang baru pertama kali melihatnya. Di bangunan yang memanjang ke belakang itu, disanalah seluruh aktivitas karyawan perusahaan dipusatkan. 

Bak sipir yang sedang mengawasi semua orang di ruangan itu, jam dinding metalik bulat itu bertengger angker tepat di tengah-tengah atas dinding berwarna krem itu. 

Di meja kerjanya yang hanya dipisahkan oleh sekat-sekat pembatas berbahan PVC dengan rekan kerjanya yang lain, Dika seolah terhipnotis oleh sang waktu yang terasa enggan berlalu meninggalkan angka tiga pada Jumat sore itu. Demam weekend tampak mulai menjangkiti dirinya. 

Sudah hampir setengah tahun Dika bekerja di perusahaan yang sekarang ini. Suasana kerja yang kondusif dan income yang cukup menggiurkan membuatnya betah setidaknya sejauh ini. 

Dibanding sebelumnya, ia hanya bertahan tiga bulan di tempat kerjanya yang pertama. Setelah itu, beberapa kali ia sempat freelance untuk event tertentu sambil hunting terus loker idaman. 

Di masa akhir kuliah, ia pernah ikut joint venture bersama teman-teman sekampusnya yang lebih dulu lulus. Tapi sayangnya usaha itu tidak berlangsung lama dan terpaksa kandas di tengah jalan. Dari situ ia merasakan betapa susahnya merintis usaha dari nol. Itu sebabnya, ia sangat bersyukur dengan pekerjaannya saat ini. 

Ibunya senang dengan Dika yang sekarang karena sudah bekerja dan hidup mandiri. Bagi Dika, ibu adalah sosok yang sangat berjasa dalam hidupnya. 

Pasca sang Bapak meninggal karena serangan jantung, Ibu lah yang menggantikan dan meneruskan usaha dagang beras yang sudah belasan tahun digeluti Bapak. Sebagai single parent, Ibu berjibaku mencari nafkah sekaligus membesarkan kedua anaknya. Image sang Ibu ini tertanam begitu kuat dalam diri Dika sejak kecil. 

Saat Bapak pergi untuk selamanya, Dika berumur 10 tahun dan adik perempuannya, Dinda, baru dua tahun. Ibu yang berdagang terpaksa meninggalkan keduanya sendirian di rumah. 

Merasa tidak punya pilihan, Ibu mempercayakan Dika untuk menjaga dan mengurus adiknya selama dirinya bekerja. Dika yang belum terlalu ngerti, dengan sukarela menyambut baik permintaan Ibunya itu. 

Sambil meyakinkan Dika, Ibu berkata, "Kakak, kalau nanti Kakek sama Nenek sudah pulang, Kakak yang gantiin jaga Dedek ya?"
"Emang, Ibu mau kemana?" tanya Dika heran.

"Ibu nanti kerja kayak Bapak dulu," ucapnya murung terkenang sang suami.

"Iya, Bu. Dika siap," jawabnya mantap seolah memahami perasaan sang Ibu.

Di waktu lain, si Ibu suka memberi petunjuk dan arahan ke Dika tentang bagimana mengurus keperluan si Adik. "Kakak, kalau nanti Dedek nangis, coba periksa popoknya. Kalau udah bau dan kotor, diganti ya. Masih inget gak caranya?" tanya Ibu memancing. 

"Nih lihat, Ibu contohin lagi."

Sambil memeragakan langsung ke Dinda lalu berkata, "Gampang kan? Coba sekarang Kakak!" serunya.

Dika merasa excited dengan hal itu. Beberapa saat kemudian, "Bisa, Bu! Kakak bisa!" teriaknya senang bukan kepalang.

"Pinter anak Ibu!" sambil mengusap kepalanya. 

Ibu biasanya berangkat ke toko pada siang hari selesai nyuapin Dinda dan setelah Dika pulang sekolah. Sore waktunya Dika berdinas. Tidak menganggapnya beban, ia mengasuh dan bermain bersama Adiknya dengan riang. 

Ia sudah terbiasa mengganti popok, menyuapi makan, dan memberi minum sang Adik. Tugasnya selesai saat Ibu pulang sekitar jam limaan setelah toko tutup. 

Terkadang pada akhir pekan, Dika dan Adiknya suka diajak Ibu ke toko. Hanya sekitar lima menit naik motor namun perjalanan itu sangat mengesankan bagi keduanya. Demikian pula pengalaman selama di toko, begitu membekas dalam ingatan keduanya.

Saat pulang adalah saat yang dinantikan keduanya. Merahasiakan akan kemana, dengan sengaja Ibu mau memberi surprised pada keduanya. Kadang mampir minimarket, makan fried chicken, atau jajan bakso sebagai ungkapan kasih sayang pada kedua buah hatinya terutama Dika yang sudah banyak membantu meringankan beban sang Ibu. 

Suatu ketika, Dika terkenang mendiang Bapaknya. Dalam kurun waktu yang singkat, tidak banyak yang ia ingat tentang sang Bapak selain dirinya yang biasa diantar jemput olehnya sejak mulai bersekolah. Kadang saat pulang sekolah, Bapak suka membelikannya jajanan, mainan, atau es krim. Di akhir pekan atau hari libur, Bapak suka mengajak keluarganya jalan-jalan, piknik ke suatu tempat, atau pergi ke kebun binatang. 

Bapak sudah berdagang beras sebelum bertemu dan menikah dengan Ibu. Orangtuanya adalah juragan beras. Tidak heran Bapak mengikuti jejak mereka. "Kalau Bapak masih ada, mungkin aku juga perlahan akan diarahkan kesana," gumam Dika dalam hati. Melanjutkan bisnis turun-temurun keluarga pilihan bagi generasi selanjutnya. Namun tampaknya Dika enggan berprofesi sama seperti Bapak. 

Tamat SMA, Dika minta izin pada Ibu untuk kuliah di Jakarta. Menurutnya, sang Adik sudah cukup besar. Jadi tidak perlu khawatir lagi karena ia bisa mandiri. Selain itu, dari segi jarak, Lampung relatif dekat dari Jakarta sehingga ia bisa pulang tiap bulan atau tiap minggu bahkan kapanpun Ibu menginginkannya. Namun dari itu semua, alasan utama Dika adalah jenuh dengan suasana yang ada dan kepingin ganti suasana baru. 

Walau berat untuk diterima, Ibu coba memahami keadaan dan keinginan Dika itu. Ia tidak menghalangi niat anak laki-lakinya itu. Selama ini Dika telah membuktikan perkataan atau perbuatannya dapat dipercaya. Itu sebabnya, Ibu tidak ragu dengan keputusannya itu. Apalagi ini dalam rangka menuntut ilmu. Tentunya orangtua mana pun pasti akan mendukung. 

Meski begitu, ada sesuatu yang  mengusik Ibu. Apa lagi kalau bukan kemaskulinan Dika. Ia memperhatikan ada kelainan dalam diri Dika sejak kecil. Namun awalnya ia tidak terlalu khawatir malah terkesan permisif dan tak begitu ambil pusing. Ia menganggap kelabilan itu wajar karena Dika masih anak-anak. Pada saatnya nanti akan normal sendiri. Tanpa disadari sikap Ibu ini berakibat fatal di kemudian hari. 

Seiring waktu, anggapan Ibu ini ternyata meleset. Yang terjadi adalah sebaliknya. Dika yang fisiknya anak cowok, makin lama makin mirip anak cewek baik kelakuan maupun penampilannya. Berbagai indikasi kuat mengarah kesana dan disaksikan Ibu sendiri langsung. Pernah tidak sengaja Ibu mendengar Dika lagi ngobrol di hp dengan gaya bicara yang berbeda sekali dari biasanya. Intonasinya lemah lembut, bahasanya gaul, ekspresinya genit dan centil banget. 

Namun saat di hadapan Ibu, semua tampak normal saja. Tak ada yang aneh pada diri Dika. Begitu piawainya Dika bersandiwara sehingga membuat Ibu berpikir Dika seperti itu hanya saat bergaul saja. Ibu yang terperdaya seakan membenarkan pendapat itu. Ibu seakan menyangkal itu bukanlah Dika yang sesungguhnya. 

Sesekali Ibu mendapati Dika nonton tv acara infotainment atau yang berkaitan dengan wanita seperti kecantikan, make up, fashion, dan kontes-kontes wanita. Kalau kepergok Ibu, Dika refleks langsung ganti channel. Seolah tidak memperhatikan gerak-gerik tersebut, Ibu tampak tidak menyalahkan perilaku tersebut. Menurutnya tidak ada salahnya nonton acara seperti itu. Toh tidak akan berpengaruh banyak pada diri Dika. 

Di lain waktu, saat sedang membersihkan kamar Dika, Ibu tidak sengaja menemukan kosmetik dan parfum aroma perempuan. Ibu yang tidak bertanya lebih lanjut hanya berbaik sangka mungkin saja itu punya temannya Dika yang terbawa. Ibu jadi ingat sebelumnya, Dika tak jarang beraroma wangi seperti parfum perempuan. Setelah itu pun tak kalah sering Dika seperti itu.

Saat kuliah persisnya setelah setahun, ada hal mencolok terjadi. Kadang Dika suka minta tambahan uang bulanan yang dirasanya kurang. Dengan berbekal alasan untuk keperluan kuliah saat ditanya, membuat Ibu tidak bisa berkutik. Padahal gaya hidup konsumtif akibat pergaulan adalah alasan sebenarnya dibalik itu. Ibu yang "ditodong" mau tak mau menuruti permintaan tersebut walaupun memang hal itu tidak terjadi tiap bulan. 

Dari berbagai temuan itu, bukan tidak menaruh curiga, hanya saja Ibu sulit menerima jika ketakutannya selama ini jadi nyata. Juga bukan tidak ada niat Ibu untuk mengubah keadaan tapi seolah ia tidak berdaya menghadapi masalah ini seorang diri. Membayangkan jika mendiang sang suami masih berada di sisinya, membuatnya jadi terharu. Berusaha tetap tegar, ia hanya bisa memendam semua ini dalam-dalam. 

Bertanya pada diri sendiri, kenapa ini terjadi pada keluarganya. Ibu merenung apa akar masalahnya.
"Apakah karena perasaan sayang pada anak yang berlebihan telah membutakanku?" tanyanya introspeksi diri.
"Tapi apa itu sebuah kesalahan?  Bukankah banyak orangtua juga berlaku seperti itu?" sanggahnya membela diri.
"Haruskah aku yang dipersalahkan setelah apa yang ku lalui dan perbuat?"
"Bukankah selama ini aku telah berkorban segalanya demi keluargaku?"
"Bukankah aku sudah menunaikan tugasku sebagai orangtua walaupun belum sempurna?"
"Lalu kenapa semua ini terjadi?"
"Betapa tidak adilnya!" ratapnya pilu. 

Namun, sekuat apapun ia menyangkal, semua sudah terjadi dan tidak ada gunanya dipertanyakan lagi. Kini yang ada hanya penyesalan dan juga malu. Karena keabaian dan kelalaiannya, Dika menjadi seperti sekarang. Namun hal itu tidaklah mengurangi kasih sayangnya pada sang anak. 

Ibu akhirnya sadar dan tidak menampik anaknya sudah berubah ke arah yang menyimpang. Ia sendiri tidak tahu dari mana penyakit itu berasal. Apakah karena faktor hormonal, biologis, psikologis, pergaulan, internet, atau apa? Walau bagaimanapun Dika tetap anaknya. Satu keinginannya agar penyakit itu hilang selamanya dari sang anak. Dan berdoa semoga Dika kembali seperti semestinya sesuai kodratnya. 

Dengan gawai di tangan, Dika coba menyiasati injury time di Jumat sore itu. Seperti biasa setiap akhir pekan, WA groupnya mulai diramaikan oleh ajakan nongkrong nanti malam. Weekend begitu ditunggu-tunggu bagi golongan seperti Dika. Setelah suntuk dengan kerjaan dan kantor, sekarang party time. Work hard, play hard kata mereka. 

Biasanya tiap malam Sabtu mereka ngumpul di cafe buat ngobrol up date seminggu yang lawas. Atau hal-hal lain yang viral dan rame tapi tidak untuk masalah di kantor. Itu sudah jadi semacam kode etik diantara mereka. Kadang mereka juga menyusun rencana buat ngedugem malam Minggu jika semua personel siap. 

Mereka ada 11 orang. Dari berbagai profesi seperti pegawai swasta, guru, konsultan, ASN,  mahasiswa, hair stylist, instruktur gym, dan jurnalis. Range usianya beragam dari 20an sampai 40an tahun. Kebanyakan masih berstatus single tapi ada juga yang sudah married. Sebagian besar mereka terpelajar dan cukup intelek. Didaulat sebagai ketua geng adalah si konsultan karena paling tua dan sudah berkeluarga. 

Orang awam sulit mengenali dan tidak akan menyangka seorang itu gay. Karena luarnya tampak macho abis tapi ternyata dalamnya melankolis. Atau istilahnya BPJS = Badan Perkasa Jiwa Sekong. Seorang itu baru ketahuan kegayannya setelah ia ngomong. Caranya bicara tidak bisa ditutupi selain gesture tubuh lain seperti cara jalan. Ciri lainnya yang tampak secara lahir seperti bersolek, memakai riasan kosmetik, dan aksesoris layaknya perempuan. 

Dalam grup tersebut, ada satu orang yang dekat dengan Dika  atau bisa disebut pacar. Namanya Adam, seorang guru kesenian SD. Ia bertemu Dika pertama kali di geng tersebut saat Dika masih mahasiswa tahun akhir. Dari situ, mereka berdua mulai menjalin komunikasi intens. Melakukan berbagai kegiatan bareng seperti jalan, shopping, makan, nonton, dll. Merasa cocok satu sama lain, hubungan rahasia keduanya masih berlanjut hingga sekarang.

Mengalihkan pandangan ke monitor di depannya, sebuah notifikasi email tiba-tiba muncul. Dengan harap-harap cemas, Dika membuka email yang memang ia nantikan beberapa hari ini. Senyum merekah menghiasi wajahnya. Melengkapi kelegaan thanks god is friday, sebuah kabar gembira datang dari perusahaan Herdi. Melalui emailnya, Herdi menyatakan menerima proposal yang diajukan Dika dan memintanya datang untuk penandatanganan MoU kerja sama pada senin depan. 


Dibanding beberapa klien sebelumnya, entah kenapa ACC kali ini terasa lebih menggembirakan bagi Dika. Menyambut dengan antusias, serta merta ia membalas balik email Herdi. Menyatakan terima kasihnya dan akan memenuhi permintaan itu. Ia juga siap mengikuti arahan dan petunjuk Herdi selanjutnya. Ia pun langsung lapor ke atasannya di last minute waktu pulang kerja. Sebuah ending akhir minggu yang sempurna!

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun