Mohon tunggu...
Ahmad Ginanjar (AG)
Ahmad Ginanjar (AG) Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa/pengajar/penulis -

Saya seorang yang setiap waktu merasa miskin. Sebab itu saya terus belajar, berjalan, berdiskusi, dan berusaha menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Janda Bodong

20 Januari 2016   17:07 Diperbarui: 4 April 2017   16:13 1430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"…Aku si janda bodong, surat cerai kosong melompong. Istri bukan, janda bukan, nasibku digantung-gantung. Janda bodong! Janda bodong! Korban egonya lelaki. Janda bodong! Janda bodong! Korban poligamiiiii…" Begitulah petikan lirik sebuah lagu dangdut yang dinyanyikan Riana Oces. Aaaah dangdut, amanat apa kira-kira yang bisa diangkut?

Judul lagu tersebut adalah Janda Bodong. “Bodong” yang diceritakan dalam lagu tersebut adalah sebuah ketidakpastian status yang disandang seorang perempuan karena terkatung-katung tanpa kejelasan. Kepastian status tersebut baru diperoleh setelah ada sikap yang diputuskan suaminya: cerai atau rujuk, disertai dengan surat-surat dari Kantor Urusan Agama yang mengurus perkawinan sebagai keabsahan kalaupun ia dijatuhi talak oleh suaminya.

Sederhananya, janda bodong di sana bermakna ‘perempuan yang ditinggal suaminya tanpa alasan yang jelas’. Soalnya, kalau dibilang bercerai pun, belum ada surat cerai. Bilamana nanti surat cerai sudah diperoleh, maka wanita yang tadinya menyebut diri sebagai janda bodong, bisa kemudian berbangga diri karena sudah resmi menjadi janda. Ahaaaay!

Belakangan, kata “bodong” dimaknai sebagai ‘ketiadaan surat-surat pengenal, ilegal, tak diakui, dan tanpa izin’. Bodong mempunyai kesan makna negatif di masyarakat, dan dikaitkan dengan hasil tindak pencurian.

Memang, sejak bertahun-tahun ke belakang, kata “bodong” biasa berkait-paut dengan status kendaraan. Misalnya “motor bodong” atau “mobil bodong”. Artinya, kendaraan tersebut tidak memiliki surat-surat seperti BPKB dan STNK. Kendaraan bodong dalam anggapan masyarakat dimaknai sebagai kendaraan curian. Pencurian kendaraan jarang sekaligus dengan surat-suratnya bukan? Kecuali kalau BPKB dan STNK-nya disimpan di dalam kendaraan yang dicuri.

Kalau kendaraan bodong terjaring razia polisi lalu lintas, sudah pasti kendaraan itu diamankan (kalau tak mau memakai kata 'diciduk') oleh petugas razia. Dari kabar terbaru, pemilik kendaraan yang tidak dapat menunjukkan surat-surat kendaraannya akan terjerat pasal pidana pencurian kendaraan bermotor. Duh, tidakkah menakutkan?

Kembali pada bodong. Dalam KBBI (2008:203), kata “bodong” tak ada sangkut-pautnya dengan surat-suratan, kepalsuan, tindak kejahatan, apalagi janda yang kesepian. KBBI hanya mencantumkan dua lema bodong. Pertama ‘bodong’ (Jawa) yang berarti 'tersembul pusatnya; bujal' atau dalam basa Sunda disebut dosol. Pengertian pertama berhubungan dengan anatomi manusia. Yang kedua yaitu ‘bodong’ (arkeologi) yang berarti 'angin kencang'. Yang kedua ini berhubungan dengan peristiwa alam. Benar ‘kan? Tidak ada sedikitpun arti yang menyentuh hal-hal seperti dalam pembahasan paragraf-paragraf sebelumnya.

Sekarang ini, ramai diberitakan di media mengenai beberapa kampus “bodong” yang ditengarai berkegiatan tanpa izin dari Pemerintah. Kampus yang bersangkutan—dicurigai—mengeluarkan ijazah palsu bagi para mahasiswanya. Konon para mahasiswanya tak perlu kuliah—karena ketika ditanya pun tak tahu arti SKS sama sekali—tahu-tahu diwisuda saja.

Lagi-lagi, kata “bodong” dipergunakan artinya seperti yang diterapkan pada “janda bodong” dan “kendaraan bodong”. Bahkan, sekarang maknanya lebih luas lagi dari sekadar menonjol pusar atau angin kencang (KBBI).

Makna sebuah kata berkemungkinan mengalami perubahan. Abdul Chaer—dalam buku Semantik-nya—menjelaskan beberapa sebab sebuah kata berubah maknanya. Ada kalanya sebuah kata berubah total maknanya, sampai-sampai berbeda sama sekali dengan makna yang terdahulunya. Seperti kata “bodong” ini.

Perubahan total makna kata “bodong” ini serupa dengan makna kata “canggih”. Dahulu, kata “canggih” bermakna ‘1. banyak cakap; bawel; cerewet’ (KBBI, 2008:241). Berbeda dengan sekarang, kita memakai kata “canggih “untuk menyatakan kehebatan sebuah teknologi. Syukur, makna ini sudah lama ditambahkan ke dalam KBBI.

Perubahan makna dan konsep sebuah kata juga dapat berhubungan dengan pandangan hidup penutur bahasa yang bersangkutan. Terdapat hubungan antara bahasa dan kejiwaan manusia. “Manusia dapat mengungkapkan bahasa dengan caranya sendiri,” kata Noam Chomsky. Itu berarti, bahasa berhubungan dengan kreativitas penuturnya. Mungkin “bodong” salah satu contohnya.

Ngomong-ngomong, tetangga saya pernah dipermasalahkan sewaktu akan mendaftar ibadah haji. Masalahnya, yang bersangkutan tidak memiliki akta kelahiran. Akta kelahiran merupakan pengakuan hukum dari negara terhadap identitas seseorang. Gawat, jangan-jangan yang tak mempunyai akta lahir disebut pula manusia bodong! Ahooooooy.

(Pikiran Rakyat, 10 Januari 2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun