“Alhamdulillah tahun ini kita bisa puasa bersama yah, Kak. Rasanya seperti mimpi…”
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan istriku. Sesekali lintasan kenangan berkedip di benakku. Tentang proses pernikahan kami yang nyaris tanpa kendala sedikitpun,walaupun kami berdua masih kuliah.
“Oh, iya, Kakak ingat tidak dengan kuesioner yang kemarin Riri buat untuk bahan skripsi? Untung sudah selesai Riri ketik, jadi besok kita bisa silaturahmi ke handai-taulan dengan tenang. “ lanjut istriku. Sementara di luar sana gema takbir bersahut-sahutan tanpa jeda.
Aku kembali tersenyum. Kadang aku merasa aneh sendiri, mengapa bisa menikah dengan Riri. Padahal watak kami amat bertolak belakang. Riri yang super. Riri yang cerdas dan banyak bicara. Riri yang ekspresif. Sementara aku? Jika saja aku tak banyak tersenyum, barangkali orang-orang sudah menyangkaku patung batu karena amat jarang bersuara. Tapi jangan bertanya jika soal menulis puisi atau membuat karangan. Panjang kali lebar…^_
Mmmhh… kita ikutan mengisinya, Kak, buat bahan renungan pribadi kita berdua… ” ajak istriku tiba-tiba. Iseng sekali si cantik ini, bathinku.
Sekali lagi aku tersenyum, sementara Riri mulai membagi kertas yang berisi pertanyaan-pertanyaan.
“Kakak mengisinya di sana saja, ya… Tapi tak boleh saling mengintip…” tunjuk istriku pada meja dekat jendela, sementara dia sendiri langsung bergegas mengisi kuesioner itu di meja yang satunya lagi.
Aku menurut. Tapi pertanyaan pertama yang kubaca langsung membuatku tertegun. Hingga lima belas menit kemudian, masih saja aku tetap tak bisa menjawab satupun pertanyaan yang tertera di kertas itu.
Agak gelisah, kulirik istriku, yang terlihat tekun serta lancar mengisinya hingga lembar yang keempat.
Cepat sekali! Kembali kubaca pertanyaan di kertas, tapi tetap saja aku tak berhasil menuliskan satupun kalimat di bawahnya, dan justru malah melamun.
“Kakak sudah selesai?” suara Riri membuyarkan rangkaian anganku. Buru-buru kusembunyikan kuesioner itu di belakang punggung.