Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Haji Bangsat

14 Mei 2015   15:17 Diperbarui: 5 Juli 2015   09:17 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kisah ini saya peroleh secara numpang lewat saking remehnya, saat menjadi bayangan untuk yang pertama kalinya di daerah Barlingcapkebmas, Jawa Tengah.

“Wis tau krungu kisaeh kaji bangsat pa rung, Bay...?” tahu-tahu seorang ibu setengah tuwir nyeletuk kepada saya, yang saat itu tengah mati-matian berusaha menerjemahkan hirup demi hirup cairan kesat hitam berkebul, dengan amat khidmat.

“Apa kui, Bu, deneng syerem temen aran kajine...?” Ucap saya dengan logat yang kaku mentok, padahal sudah lebih dari dua tahun berusaha menaklukkan Bahasa Jawa, walau cuma ngapak. Dan agar lebih mudah dinikmati, kita ubah saja semuanya ke dalam Bahasa Indonesia.

Dahulu waktu masih zaman dungtong, ada seorang bapak bernama Udin yang pergi haji. Nama lengkapnya mungkin Jalaludin, atau Awaludin, Syaefudin, Syamsudin atau entah Udin siapa lagi terserah kekonyolan pelantun lagu ‘Udin Sedunia’ yang nyebelin sekaligus nggemesin itu. Tapi yang jelas, beliau tidak dipanggil Udin karena selalu bilang sama pemilik warung, “Utang DIngiN, ya...” alias utang dulu, ya...^_

Wuuzzz… Mendadak sekeliling saya hilang. Tak ada lagi suasana ruang tamu sederhana tempat saya mengopi. Tak ada lagi perangkat meja dan kursi yang akhir-akhir ini sangat setia menemani jalan sunyi yang tengah saya geluti. Bahkan cangkir kopi sayapun ikut raib entah kemana!

Sayup masih saya dengar tuturan ibu paruh baya itu, yang melantun pelan laksana tembang mocopat syafa’at, dengan nada yang melenting ke sana-ke mari bersama lirih gamelan yang ditabuh sebatas pendengaran yang paling minimal.

Dan diantara sayup yang magis itulah saya melayang, mendarat tepat di sebuah gubuk amat sederhana yang benarkah masih mirip gubuk itu?

Ini tentu kediaman Pak Udin, bisik saya pada diri sendiri. Benar-benar nyaris tak ada benda berharga di tempat ini. Agaknya peradaban benar-benar enggan untuk singgah di tempat ini, selain bukti minim berupa beberapa gerabah kualitas rendah plus peralatan penyambung hidup lainnya yang benarkah ini masih di Indonesia saking minimnya, dan bukannya di pedalaman hutan anu rimba anu.

Tapi justru dari kesederhanaan itulah saya merasa aneh. Mengapa Pak Udin bisa pergi ke Mekah? Dan mengapa tidak digunakan saja untuk menyulap kediamannya, hingga menjadi tempat yang lebih layak lagi untuk ditinggali oleh manusia, misalnya? Serta banyak lagi pertanyaan lainnya yang langsung membawa angan saya bergerilya tentang Si Anu yang mampu berkurban kambing walau cuma nenek tua pemulung jalanan, atau si Itu yang berhasil pergi haji dengan hanya mengandalkan hasil buruh tani serabutannya berpuluh-puluh tahun, yang jika di tangan saya pasti hanya akan menyisakan keluhan betapa amat tak leluasanya penghasilan berbanding harga-harga kebutuhan yang melambung bebas.

Satu-satunya barang dari gubuk reyot ini yang terkesan berharga di mata saya mungkin cuma ini: Seperangkat alat sholat pribadi. Berharga lebih karena nilai fungsinya, tentu saja, sebab tampilan fisiknya jelas tak lebih mewah dari kain yang biasa dipakai untuk membersihkan perabot kotor, yang saya yakin tidak akan pernah beliau jadikan mas kawin seperti ‘seremoni miris’ yang sudah terlalu sering kita dengar itu. Karena seringkali seperangkat alat sholat semewah apapun sukar menggugah keinginan yang diberi mas kawin untuk bersemangat dalam sholat, terutama ketika si pemberi, pun tidak akrab dengan ritual penghambaan itu. Siapa bilang pencitraan hanya terjadi di dunia politik...? ^_

Fragmen cepat berubah. Suasana kembali berganti sebab hidup memang aktor piawai yang memainkan perannya dengan amat menawan, dan membawa kita kepada keadaan tahu-tahu yang terus berulang. Tahu-tahu malam. Tahu-tahu pagi. Tahu-tahu sudah puluhan tahun kita hidup di dunia ini tanpa satupun karya besar yang pernah kita buat, atau setidaknya satu manfaat yang pernah kita ciprat buah makrifat untuk umat atau mungkin cuma sekedar bagi sahabat. Pada fragmen yang ini saya lihat Pak Udin berkemas, bersiap menuju karantina calon haji, lengkap dengan perangkat ibadah lusuh tersebut, yang agaknya tak pernah lepas dari kehidupannya.

Tapi, ah… apa itu..!

Seperti di zoom ukuran terbesar saya melihat seekor hewan kecil, menyelinap dengan amat sigap dari kasur butut Pak Udin menuju selipan pecinya.

Ah, Bangsat itu...! Teriak saya dengan amat percuma, sebab dunia saya dengan ‘kenyataan’ Pak Udin tak linier, hanya sebatas tuturan dari ibu paruh baya sebagai pendongengnya, yang samar masih saya dengar bisikannya dari ruang entah yang mana lagi.

Alangkah tak hati-hatinya kau, Pak Udin, sesal saya melihat betapa amat sumringahnya hewan penghisap darah tersebut berpindah-pindah dari peci Pak Udin ke kerah bajunya. Kadang hinggap di sakunya, yang tak lama kemudian berjumpalitan –mungkin juga sambil teriak: Wow...!- lalu menyelusup dengan amat membuat takjub ke bagian pakaian lain yang dikenakan Pak Udin, dan menjadi PGT (Penumpang Gelap Tetap) dalam perjalanan spiritual Pak Udin memenuhi panggilan Tuhannya.

Jadilah monster kecil penghisap darah itu pengikut setia Pak Udin, yang dengan penuh taklid menemani setiap gerak kehidupan Pak udin. Saat Pak Udin thowaf, bangsat itu ‘SEAKAN-AKAN’ turut thowaf bersamanya. Begitu juga ketika Pak Udin sa’i, lempar jumroh, dan sebagainya hingga beliau kembali ke tanah air.

Pak Udin lahir kembali, lengkap dengan merek religi baru yang disematkan di depan nama dunianya hingga terkesan menjadi amat mentereng: Pak Kaji Udin alias Pak Haji Udin. Sebuah merek yang cukup menggairahkan rasa keagamaan siapapun yang mendengarnya, yang biasanya langsung menerbitkan baik sangka bahwa si pemilik merek tentu telah khatam pula empat Rukun Islam yang lainnya...^_

Tapi sayangnya, saya tidak tahu kelanjutan kisah hidup Pak Haji Udin tersebut. Apakah beliau kemudian menjadi lebih mabrur, lengkap dengan segala kebaikan yang dirohimkan Allah kepada beliau, atau justru malah berubah menjadi juragan pemulung yang tak lama kemudian sukses menjadi anggota dewan dan menjadi trending topic di twitter...? Wallahu a’lam. Hanya saja saya tahu persis kisah bangsat di peci Pak Haji Udin, yang jika kita memang mau bersikap adil, kita panggil juga dengan gelar: Haji Bangsat.

Setelah pulang dari tanah suci, tak ada yang berubah dari keseharian Haji Bangsat. Tetap bersembunyi, sambil sesekali menghisap darah Pak Haji Udin juga Pak Haji Udin-Udin yang lainnya. Juga masih istiqomah berjiwa pengecut, yang selalu kembali menyelinap dengan sangat mindik-mindik ketika bahaya buah kelakuannya mengancam. Bahkan bau tubuhnyapun masih tetap busuk juga…!!!

Hingga suatu hari, Haji Bangsat itu memutuskan untuk berkelana sebagai jumper yang terus berlompatan dari satu lokasi ke lokasi yang lainnya, dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya, yang dengan kecanggihan GPRS terkini saya ketahui lokasi terakhir loncatan Haji Bangsat tersebut… Ternyata dia sangat sering terdampar lalu singgah dan merasuki diri kita dengan sangat nyamannya...^_

Mungkin karena kurangnya waro’ dalam keseharian kita, tak lagi cuma bangsat yang bolak-balik jumper ke peci dan atau alat ibadah kita yang lainnya, melainkan justru membuat kita terus-menerus kesurupan, hingga akhirnya bermetamorfosa menjelma Super Haji Bangsat.

“Tapi gue kan banyak ngelakuin ibadah, Bay.. Baik ubudiyah maupun uluhiyah, baik amal pribadi maupun jama’i, baik melalui lisan maupun perbuatan juga rangkaian tulisan, baik seagama ataupun lintas agama, buah fermentasi nilai-nilai agama yang gue pahamin dan kemudian gue tuangin dalam berbagai kegiatan kemanusiaan.. Baik Har..”

“Udah.. Udah… Stoplah dulu, Sob…” tukas saya lembut, lebih karena malu karena kadang yang berbicara itu bukan orang lain, melainkan diri saya sendiri.

“Pada akhirnya kita ga lebih cuma sekedar seorang Haji Bangsat doang kok, Sob…” ucap saya pelan dan semakin tenggelam dalam lumpur hina yang penuh aura malu. Haji bangsat juga ikut beribadah dan melakukan kebaikan. Tapi beribadah seperti apa...? Kebaikan macam yang mana...? Dan berbedakah dengan latar belakang dan hasil ibadah kita...? Lebih mendekati Pak Haji Udin..? Lebih mirip Haji Bangsat...? Atau…? Semoga Allah melindungi kita semua dari ‘delusi ibadah’ itu, aamiin...^_

Secangkir Kopi Gelandangan, 143.15-283.15

Glossarium:
- Bangsat = Sejenis kutu kecil yang gemar menghisap darah manusia sebagai makanannya. Bangsat memiliki banyak nama, antara lain kepinding, tumbila, tinggi, dan masih banyak lagi nama yang lainnya. Vampir kecil ini biasanya hidup bersembunyi di lipatan kasur, dipan, sela-sela kursi dan tembok yang berlubang-lubang kecil. Pada beberapa daerah di Bandung, bangsat adalah sebutan lain dari maling ayam.

- “Wis tau krungu kisaeh Kaji Bangsat pa rung, Bay..?” = Sudah pernah tahu kisahnya Haji Bangsat atau belum, Bay…?

- “Apa kui, Bu, deneng syerem temen aran kajine..?” = Apa itu, Bu, Koq menakutkan sekali nama Pak Hajinya…?

- Nngapak/ngapakan = Bahasa pasar, bahasa sehari-hari yang dipergunakan oleh masyarakat di daerah Purwokerto dan sekitarnya. Sementara bahasa sehari-hari yang dipergunakan di Jawa Timur biasa disebut Bandekan (bande’an).

- Mindik-mindik = Berjalan perlahan sambil berjingkat-jingkat agar tak terdengar atau tak diketahui oleh orang lain.

- Zaman dungtong = Perkiraan terjadi di masa penjajahan Jepang. Ketika terdengar bunyi dentuman besar, rakyat Indonesia digiring untuk menceburkan diri dan berkumpul di tengah empang berair, sambil menaruh kedua tangan di belakang kepala seperti tawanan perang, untuk di foto. Dan setelahnya, semua lelaki yang ada di foto tersebut diangkut untuk jadi romusha, yang kabarnya tak pernah ada yang kembali lagi. Itu mungkin yang melatar belakangi kenapa hingga kini masih ada orang-orang di pedesaan yang tidak mau difoto.

- Jumper = Istilah dalam dunia elektronika untuk menghubungkan antara dua titik atau lebih jalur komponen yg terputus pada papan PCB. Dalam perfilman, istilah jumper digunakan untuk menceritakan tentang orang yang memiliki kemampuan teleportasi, yaitu pemindahan sebuah obyek berupa materi (atau dirinya sendiri) dari suatu posisi ke posisi yang lain di alam semesta, yang terjadi dalam waktu cepat. Hingga kini kemampuan tersebut masih terus diteliti oleh banyak negara. Tapi anehnya, Indonesia justru mengklaim sudah menguasainya sejak masa Bandung Bandawasa, dengan Ajian Sepi Angin, yang walaupun sukar untuk dijelaskan secara logika namun dipercaya masih ada beberapa orang yang memilikinya. Dalam istilah pertemanan, jumper mengalami pembusukan makna menjadi hanya sekedar orang atau benda yang kegiatannya banyak berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya, baik lokasi tempat maupun lokasi kepentingan.

- Waro’/Wiro’i = Menurut kebahasaan mengandung arti menjauhi dosa, lemah, lunak hati, dan penakut. Para sufi memberikan definisi yang beragam tentang wara’ berdasarkan pengalaman dan pemahaman masing-masing. Ibrahim ibn Adham (w 160 H/777) mengatakan bahwa wara’ adalah meninggalkan syubhat (sesuatu yang meragukan) dan meninggalkan sesuau yang tidak berguna. Pengertian serupa juga dikemukakan Yunus ibn Ubayd, hanya saja ia menambahkan dengan adanya muhasabah (koreksi terhadap diri sendiri setiap waktu). Ibn al-Qayyim al-Jawziyah menarik kesimpulan bahwa wara’ adalah membersihkan kotoran hati, sebagaimana air membersihkan kotoran dan najis pakaian. Karena sikap wara' terkait dengan kebersihan hati, para pengamal Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah YPDKY hanya mengkonsumsi makanan yang jelas sumber dan kehalalannya dalam kegiatan i'tikaf. Makanan diolah dalam keadaan wudhu dengan senantiasa mengingat Allah. Bahkan makanan berupa daging yang dikonsumsi dalam i’tikaf berasal dari sapi atau kambing yang disembelih sendiri oleh panitia i'tikaf. Hal ini dilakukan untuk memastikan agar hewan disembelih sesuai syariat Islam sehingga terjamin kehalalannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun