Dalam sejarahnya, madrasah diniyah banyak lahir dari lingkungan pondok pesantren sebagai wadah untuk memfasilitasi belajar santri sekaligus sebagai bentuk perlawanan terhadap lembagalembaga pendidikan model kolonial yang hanya berkutat pada pembelajaran sekuler. Bahkan dalam khazanah pesantren, kedudukan madrasah diniyah sangat penting sebagai lembaga yang mengakomodir seluruh mata pelajaran agama dengan jenjang kelas sebagaimana lembaga-lembaga formal. Kurikulum madrasah diniyah juga bersifat lebih akomodatif dan fleksibel daripada kurikulum pendidikan formal. Meski demikian, lulusan madrasah diniyah diharapkan mempunyai kompetensi keislaman yang kaffah, baik yang bersifat ainiyah (personal) maupun kifayah (komunal), terutama di bidang ilmu Tauhid, Fiqih, Akhlak, dan Tasawuf. Pembahasan mengenai pendidikan pesantren juga seringkali mengundang diskusi panjang dan bahasan-bahasan yang tidak berkesudahan karena pesantren mempunyai daya tarik tersendiri yang mampu memikat masyarakat untuk dipelajari dan dikaji lebih dalam lagi secara berkelanjutan. Kekhasan dari pesantren sebagai lembaga keislaman yang di dalamnya meliputi sistem, metode, tata kelola, dan model adaptasi dipertahankan sebagai lembaga yang "tafaqquh fiddin" melalui sumber belajar pada kitab-kitab salaf yang terdiri dari ide, cita-cita, dan sebagai simbol keagungan pesantren. Kedua, sosiologis, yaitu sebagai rujukan bahwa madrasah diniyah tidak berada pada ruang hampa (vacuum sepace), akan tetapi bagian dari sistem sosial yang luas dan dinamis, sehingga eksistensi madrasah diniyah tidak sekedar sebagai pelengkap, tetapi menjadi pilihan utama. Ketiga, yuridis, yaitu sebagai dasar mengembangkan kearifan bahwa di Indonesia berlaku sistem pendidikan nasional, sehingga jenis, dan bentuk perjenjangan satuan pendidikan yang namanya madrasah diniyah tersebut harus menyesuaikan dengan peraturan pendidikan yang ditetapkan dalam undang-undang.[1]
Secara yuridis, dasar pendidikan madrasah diniyah adalah UU No. 20 Tahun 2003, PP Nomor 19 tahun 2005, PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, dikuatkan dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 10 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Agama. Madrasah Diniyah sebagai lembaga pendidikan Islam legitimasinya telah diakui Pemerintah Indonesia. Legitimasi tersebut direalisasikan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Madrasah Diniyah Non-formal. Dalam pasal 21.[1] Pembelajaran di Madrasah Diniyah biasanya dilaksanakan pada sore hari. Kurikulum yang diajarkan pada Madrasah Diniyah Takmiliyah sebagaimana diatur pada pasal 48 Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, yaitu Al Qur'an, Hadits, Aqidah, Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab. Namun demikian, lembaga penyelenggara Madrasah Diniyah Takmiliyah dapat mengembangkan kurikulum sesuai kekhasan masing-masing berdasarkan kearifan lokal.
Madrasah Diniyah merupakan salah satu lembaga yang berbasis masyarakat. Lembaga ini berdiri atas inisiatif dari masyarakat, dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat. Sejarah mencatat bahwa pendidikan Madrasah Diniyah dipengaruhi oleh Islam Timur Tengah karena masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh para ulama dari jazirah Arab. Awal mula diadakannya Madrasah Diniyah adalah untuk membekali dan memperdalam pendidikan agama Islam bagi anak-anak dan remaja. Keberadaan Madrasah Diniyah dianggap sebagai embrio lembaga pendidikan pesantren.[1]
Dalam regulasi pendidikan di Indonesia, Nomenklatur Madrasah Diniyah Takmiliyah terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 pasal 14 yang menyebutkan bahwa Pendidikan Keagamaan Islam terdiri dari dua, yaitu Pendidikan Diniyah dan Pendidikan Pesantren. Sementara Pendidikan Diniyah sendiri terdiri dari Pendidikan Diniyah Formal dan Pendidikan Diniyah Non Formal. Pendidikan Diniyah Non Formal terdiri dari Pengajian Kitab, Pendidikan Al-Qur'an, Madrasah Diniyah Takmiliyah, Majelis Taklim dan lembaga pendidikan lain yang sejenis.[1]
Madrasah Diniyah di MTs. Zainul Hasan Balung merupakan salah satu program unggulan yang dirancang untuk membekali peserta didik dengan memahami kitab-kitab klasik berbahasa Arab (Kitab Kuning) secara lebih cepat dan efektif. Program ini bertujuan untuk melestarikan tradisi keilmuan Islam sekaligus menyiapkan peserta didik agar mampu mengkaji literatur keIslaman secara mandiri, baik untuk kepentingan akademik maupun sebagai bekal melanjutkan pendidikan di pondok pesantren atau lembaga pendidikan lainnya.[1].
Proses pengembangan kurikulum yang terjadi di MTs Zainul Hasan Balung merupakan proses rangkaian pembaruan kurikulum yang dilakukan secara integrasi interkoneksi, dengan cara menjadikan ajaran dan nilai-nilai Islam sebagai petunjuk dan sumber konsultansi bagi pengembangan berbagai mata pelajaran umum sehingga mampu mengintegrasikan kurikulum merdeka dan pesantren sehingga dapat seimbang antara ilmu umum dan ilmu agama. Â Pengintegrasian pesantren tetap melihat pada kondisi siswa.
Hal ini senada dengan pengembangan kurikulum yang tertuang dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yaitu: 1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. 2) Beragam dan terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender.
Metode yang digunakan oleh madrasah diniyah di MTs. Zainul Hasn Balung menggunakan metode Al-Miftah Sidogiri Metode Al-Miftah Sidogiri adalah satu bentuk pembelajaran yang sangat evektif tergantung bagaimana penerapan dan pengaplikasiannya didalam suatu lembaga pendidikan. Hal ini tentu membuat pelajaran bagi sebuah lembaga yang menggunakan metode ini agar bisa menjadikan pembelajaran dengan metode AlMiftah lebih Praktis dari metode lainnya . Selain Praktis Metode AlMiftah ini juga mudah di fahami oleh kalangan santri karena terdapat lagu yang familiar dan sudah mencakup semua materi nahwu shorof pada lagu tersebut.
Menurut penelitian yang dilakukan di MTs. Zainul Hasan Balung, data yang dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi menunjukkan bahwa penggunaan metode Al-Miftah adalah teknik membaca kitab kuning yang paling cepat. Metode ini berasal dari pondok pesantren Sidogiri. Metodologi Al-Miftah  yang di terapkan di MTs. Zainul Hasan Balung menggabungkan antara metode ceramah dan hafalan.
Penerapan Metode Al-Miftah Sidogiri di Madrasah Diniyah MTs. Zainul Hasan Balung yaitu semua peserta didik baru wajib mengikuti kelas Al-Miftah yang berada di tingkat 1 dengan materi 4 jilid dan di selesaikan selama 1 tahun dengan kelas dan pengajar yang tetap. di setiap ujian semester harus selesai 2 jilid dan di semester akhir akan di tentukannya naik tidak nya santri ke tingkat selanjutnya sesuai dengan hasil tes ujian tulis dan lisan yang di laksanakan santri ketika ujian akhir semester.
Berdasarkan hasil temuan peneliti di benarkan dengan adanya teori yang di kemukakan oleh Imron Fauzi dan Muhammad Yusuf bahwa metode Al- Miftah merupakan salah satu metode diantara sekian banyak metode pembelajaran Bahasa Arab yang mengedepankan kaidah-kaidah ringkasan materi Nahwu Sorrof agar menjadi mudah di fahami dan di ajarkan, sehingga pada akhirnya dapat memudahkan pelajar dalam memahami Bahasa Arab.