Mohon tunggu...
Ahmad Syadid
Ahmad Syadid Mohon Tunggu... Freelancer - Kenanglah, meski dalam dadamu aku tak lagi degup

kopi hitam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bersama Sahabat Selain Manusia

20 September 2019   23:43 Diperbarui: 21 September 2019   06:48 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari masih gelap pagi, ketika Mbah Sardi, sapaan akrab Mbah Diman yang seorang Muadzin di desa itu melangkahkan kakinya menuju rimbunnya pepohonan, lalu hilang ditelan lebat pekarangan di kiri dan kanan rumahnya. Malam tadi, hujan turun cukup deras. Mbah Sardi bergegas pagi buta itu, karena ingin segera menyambangi sahabatnya dan memberinya ucapan selamat. Ucapan untuk apa?


"Syukurlah, begitu kutanam engkau, Allah memberimu hujan", katanya kepada pohon yang kemarin sore baru saja ditanamnya.


"Itu pertanda Allah berkenan dan gembira atas tumbuh dan kehidupanmu selanjutnya!", tambahnya.


Lalu dengan parang di tangannya, dipotonglah beberapa ranting pohon besar yang menjulur menghalangi sinar mentari menerangi pohon kecil yang baru ditanamnya itu. Itu pun setelah Mbah Sardi meminta ijin pada pohon besar yang juga sahabatnya sejak sepuluh tahun terakhir ini.


"Aku baru saja membawakan kawan baru untukmu, jadi tolong jaga dia, agar dia tumbuh besar ya?", kata Mbah Sardi meminta sambil menepuk si Pohon Besar.


"Aku juga minta maaf dan ijin, karena aku akan memotong sedikit rantingmu yang sepertinya agak mengganggu dia!", lanjutnya.


Sejenak Mbah Sardi terdiam, beberapa saat kemudian mengangguk-angguk seakan baru saja mendapat ijin, lalu mengayunkan parangnya yang tajam.


Kemudian Mbah Sardi pun berdoa.


"Yaa.. Allah, berkatilah hidup dan tumbuh-suburkanlah tanaman yang saya tanam ini, jadikanlah mereka sahabat saya yang Engkau utus untuk mengirim rizki bagi saya, Aamiin."


Sambil tersenyum, dipandangilah pepohonan yang disebutnya sebagai para sahabat yang diajaknya berbicara seakan mereka dapat berkata-kata.


Sesaat kemudian Mbah Sardi tertegun, beberapa puluh meter di samping kanannya, setandan pisang telah masak di pohon, bahkan beberapa buah di antaranya telah robek dimangsa kelelawar. Dihampirinya pohon pisang itu, lalu tepuk-tepuk dan ditangisinya.


"Terima kasih ya, engkau beri aku setandan buahmu yang manis,"katanya.


"tetapi aku agak kecewa, karena harus aku sendiri yang menebang engkau."


"Bukankah biasanya yang lalu-lalu, rakyat miskin lapar yang biasanya menemukan dan mengambil buah kawan-kawanmu ketika sudah matang?"


"tetapi baiklah, akan kutebang engkau, setelah aku mencicipi buahmu, siapa tahu ada orang miskin yang mampir ke rumah, akan kuberikan buahmu padanya, boleh kan?", kata Mbah Sardi mengakhiri pertemuannya dengan para sahabatnya di kebun, pagi itu.


Sepeminum teh, sambil memperhatikan anak sulungnya merawat ayam jago kesayangannya, nampak Mbah Sardi tengah menikmati sarapan paginya. Sepiring singkong rebus di samping lambar kayu berisi seperangkat teh panas, Mbah Sardi tersenyum sembari bergumam, "Rasanya belum lama aku menancapkan batang singkong ini, tetapi sebagai sahabat, rupanya ia ingin segera berterimakasih padaku dengan memberiku sekeranjang buahnya."


Sementara itu, Bibi Rodyah, pembantu di rumah mantan lurah desa itu mendekati bosnya untuk sesuatu hal.


"Nanti mau sarapan dengan lauk apa Ndoro?", tanyanya. Setengah kaget Mbah Sardi menjawab,"Aku ingin dadar telur si Blorok, sepertinya sudah cukup lama aku tidak menikmati telurnya, dan aku tak ingin si Blorok kecewa karena aku tak berterimakasih akan pemberiannya!"


"Jangan lupa Rod, Ndoro Putri ingin gulai ikan gurameh di kolam belakang, ia juga ingin segera nikmati kegemukannya, jadi jangan lupa lho ya?", lanjutnya menambahkan instruksi kepada pembantu yang sudah seperti keluarga sendiri.


Demikianlah, hari-hari Mbah Sardi dipenuhi harmoni, berkat muamalahnya yang begitu baik dengan makhluk Allah yang bukan manusia. Diperlaukannya mereka, hewan dan tumbuhan sebagai sahabat, yang diajaknya berbicara, dihormati eksistensinya, diperhatikan kebutuhannya, dan lebih dari itu semua dihargai pemberiannya.


"Nak, ucap sembari menepuk punggung Mbah Sardi kepada anak sulungnya, sesungguhnya sebagai hamba Allah kita tidak hanya dituntut bermuamalah dengan makhluk bernama manusia, tapi juga dengan makhluk lain seperti tumbuhan dan hewan, bahkan derajat muamalah dengan mereka yang bukan manusia tidak kalah nilainya di mata Allah".


"lebih dari itu, bermuamalah dengan mereka hanya menghasilkan pahala, sedang bermuamalah dengan manusia, jika kurang hati-hati justru hanya akan menumpuk dosa!", kata Mbah Sardi tandas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun