Para sarjana ini dipercaya akan membawa kebaikan untuk kemajuan zaman.
Lalu bagaimana dengan kejadian di negara kita saat memperlakukan para santri /sarjana jebolan pesantren? Boleh jadi jawabannya sama.
Masyarakat telah menunggu kehadiran para jebolan pesantren, dari mulai mengurus masjid, membina pengajian anak-anak, hingga memberi kajian umum ditengah masyarakat.
Perannya beraneka ragam, dari mulai mengurus prosesi kematian, hingga tempat mengadu aneka masalah yang terjadi ditengah masyarakat.
Jika lulusan perguruan tinggi memilki minimal satu bidang keahlian, maka para santri lulusan pondok ini harus menguasai aneka keilmuan.
Dari mulai Fiqh, Tauhid, Tafsir, Alquran, hingga Tasawuf, semua ini diperlukan untuk menjawab aneka permasalahan yang ada ditengah masyarakat.
Itulah mengapa pesantren mengajarkan 12 fan keilmuan, untuk menjawab aneka tantangan zaman.
Jika perguruan tinggi di New Zealand adalah black cofee, kita memiliki cita rasa yang sama dalam kopi hitam bernama Pesantren.
Cara masuk yang sama, dan harapan yang tak jauh berbeda saat selesai menempuh pendidikan.
Hanya saja, entitas pesantren memiliki perbedaan unik, setiap lulusannya bermetamorfosis dalam aneka peran, tak semua jadi ustadz atau kyai.
Mereka ada dalam sanggar seni tanpa menggunakan peci bernama seniman, ada yang jadi pengusaha tanpa perlu sarungan, ada yang jadi TNI/POLRI tanpa memakai serban, hingga banyak profesi lain dalam masyarakat, dan mereka tetap "nyantri."
Tak aneh dalam setiap prosesi wisuda, para murobi kerap memberi pesan yang menggugah jelaga jiwa para santri muda:
"Tidak semua lulusan pesantren harus jadi kyai, dimanapun  Allah menempatkanmu kelak, jadilah seorang santri, jadi seniman yang nyantri, jadi pemimpin yang nyantri, jadi penegak hukum yang nyantri, karena santri tidak hanya sebuah identitas, tapi juga jatidiri."
Selamat Hari Santri Nasional 22 Oktober 2021.