Keempat: Kolaborasi dan Soft Skills Global; Kolaborasi yang efektif melatih kepemimpinan tanpa otoritas. Mahasiswa belajar mengelola perbedaan, dosen belajar memberi ruang dialog. Soft skills global seperti empati, komunikasi, dan tanggung jawab sosial tumbuh alami di dalamnya. Ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045: membangun sumber daya manusia unggul yang adaptif dan berdaya saing global.
Kelima: Tantangan: Antara Fakta dan Formalitas; Masih banyak dosen yang menuntut kolaborasi, tetapi enggan menulis bersama mahasiswa. Tugas sering diberikan secara individual, sementara dosen sendiri jarang memperbarui karya ilmiahnya. Akibatnya, kolaborasi menjadi slogan kosong  formalitas tanpa pembelajaran sosial. Padahal, kolaborasi sejati adalah budaya, bukan kewajiban administratif.
Kolaborasi adalah jantung dari branding akademik yang berkelanjutan. Ia melahirkan karya bersama, reputasi bersama, dan tanggung jawab bersama. Untuk memperkuatnya: 1) Dosen perlu membuka ruang publikasi bersama mahasiswa di platform ilmiah dan populer; 2) Mahasiswa perlu memandang kolaborasi bukan sebagai beban, tetapi sebagai investasi reputasi; 3) Kampus perlu memberi penghargaan lebih pada karya kolaboratif seperti HAKI, publikasi tim, dan pengabdian bersama.
Kolaborasi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan fakta ilmiah yang meneguhkan integritas dan identitas akademik. HAKI, publikasi, dan jejaring kolaboratif adalah wajah baru branding akademik yang tumbuh dari kerja bersama, bukan dari ambisi pribadi. Wallahu A’lam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI