Akademik sebagai Ekosistem: Iman, Ilmu, atau Sekadar Institusi?
Oleh: A. Rusdiana
Semester Ganjil Tahun Akademik 2025/2026 telah dimulai sejak 1 September 2025 hingga 19 Desember 2025. Di tengah padatnya perkuliahan, dosen dan mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) S-1 melaksanakan tiga sesi kuliah penuh 12 sks dalam satu hari, Rabu 8 Oktober 2025. Kelas V/c, V/d, dan V/e mengikuti mata kuliah Metode Penelitian Manajemen Pendidikan dengan kegiatan yang tak biasa: menghadirkan dosen tamu seorang guru profesional, peneliti, dan penulis buku "Menjadi Cahaya: Catatan Seorang Guru."
Kegiatan ini tidak hanya akademik formal, tetapi juga aksi sosial berbasis ilmu. Mahasiswa terjun ke lapangan melalui riset mini dan magang di lembaga pendidikan Islam. Di sanalah tridarma perguruan tinggi menemukan napas barunya pengajaran, penelitian, dan pengabdian yang saling menghidupi.
Dalam konteks yang lebih luas, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, dalam forum Winner 2025 di Gedung BJ Habibie, menegaskan perlunya kampus bertransformasi menjadi University 4.0: bukan hanya tempat belajar, tapi pusat perubahan sosial dan ekonomi. Paradigma baru ini menegaskan bahwa akademik harus menjadi ekosistem hidup, bukan sekadar institusi administratif.
Teori yang melandasi gagasan ini beragam. Wenger (1998) melalui konsep Community of Practice menjelaskan bahwa pembelajaran sejati tumbuh dalam interaksi sosial dan praktik bersama. Vygotsky (1978) menegaskan pentingnya social learning, di mana kolaborasi membentuk kecerdasan kolektif. Sementara teori Job Demand-Resources Model (Bakker & Demerouti, 2007) menunjukkan bahwa keterlibatan kerja (work engagement) tumbuh dari keseimbangan antara tuntutan dan dukungan. Maka, bila akademik menjadi ekosistem yang sehat---dengan iman, ilmu, dan kolaborasi---maka tridarma akan berdenyut alami.
Namun di sisi lain, masih terdapat kesenjangan (gap) nyata: lemahnya riset kolaboratif, komunikasi yang terbatas antar civitas akademika, serta kecenderungan administratif yang menumpulkan empati sosial. Karena itu, tulisan ini bertujuan menegaskan pentingnya menjadikan akademik sebagai ekosistem iman dan ilmu, bukan sekadar institusi birokratis. Berikut Lima Pilar Akademik sebagai Ekosistem:
Pertama: Kampus sebagai Ruang Hidup, Bukan Gedung Ilmu; Ekosistem akademik yang sehat tidak diukur dari jumlah laboratorium, tetapi dari kehidupan yang berdenyut di dalamnya. Dosen dan mahasiswa bukan penghuni gedung, melainkan penggerak pengetahuan. Melalui riset mini, diskusi, dan proyek sosial di lembaga pendidikan Islam, mereka membangun jejaring pembelajaran yang nyata. Kampus harus menjadi ruang yang menghidupkan empati dan nalar kritis, bukan sekadar ruang ujian.
Kedua: Riset Kolaboratif sebagai Pengabdian Sosial; Riset seharusnya tidak berhenti di laporan atau publikasi, melainkan menyalakan perubahan. Ketika mahasiswa turun meneliti di MIN, MTsN, MAN, hingga Perguruan Tinggi Islam Swasta (PTIS), riset itu menjadi bentuk pengabdian. Mereka belajar membaca realitas pendidikan, mengelola data, dan menemukan solusi yang dapat diterapkan oleh lembaga. Inilah wujud nyata tridarma yang saling berkelindan. Â Berikut Pembagian Kelompok Riset Mini Kls V/D MPI S-1