Mohon tunggu...
Ahmad Rusdiana
Ahmad Rusdiana Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan, Penulis, Peneliti, Pengabdi, Pendiri/Pembina YSDPAl-Misbah Cipadung Bandung-Pendiri Pembina Yayasan Tresna Bhakti Cinyasag-Panawangan-Ciamis Jawa Barat. Peraih Kontributor Terpopuler Tahun 2024 di Repositori UIN Bandung

"Kompasiana Best Fiction Award Explorer" 22/1/2025

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Litersi sebagai Alat Pikir Jernih; Formalitas atau Jalan Kepemimpianan?

25 September 2025   15:26 Diperbarui: 25 September 2025   15:26 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Guru Inovatif tersedia dihttps://guruinovatif.id/artikel/literasi-tidak-sekadar-baca-tulis?username=redaksiguruinovatif

Literasi sebagai Alat Pikir Jernih; Formalitas atau Jalan Kepemimpinan?

Oleh: A. Ruadiana

Perkuliahan semester ganjil tahun akademik 2025/2026 telah dimulai sejak 1 September 2025 hingga 19 Desember 2025. Di tingkat S1, kuliah sudah berlangsung dua kali pertemuan, sementara di S2 Pendidikan—khususnya mata kuliah Metode Penelitian dan Sistem Informasi Manajemen Pendidikan—dosen sering menghadapi situasi kuliah paralel karena crossing jadwal mengajar. Dalam suasana demikian, menugaskan mahasiswa menulis esai dari materi kuliah bukanlah hal mudah. Fenomena ini menunjukkan bahwa menyatukan visi mahasiswa untuk menulis dengan disiplin dan konsisten masih menjadi tantangan besar.

Literasi dalam konteks ini tidak semata kemampuan membaca atau menulis, tetapi menjadi alat berpikir jernih. Teori Job Demand–Resources menjelaskan bahwa keterlibatan belajar meningkat ketika tuntutan akademik diimbangi dengan sumber daya pendukung. Sementara itu, konsep community of practice Wenger dan social learning Vygotsky menegaskan pentingnya interaksi sosial dalam membangun pemahaman mendalam. Sebuah pekerjaan, jika tidak dilakukan oleh ahlinya, akan berujung pada kehancuran. Begitu pula, jika tugas literasi hanya dijalankan secara formalitas tanpa keterampilan berpikir, maka hasilnya sekadar rutinitas tanpa makna.

Gap semakin jelas ketika banyak dosen enggan mengajar pada jam-jam awal kuliah. Mindset seperti ini sering menular kepada mahasiswa, sehingga literasi akademik—khususnya penulisan esai—hanya dianggap beban, bukan peluang.

Tulisan ini bertujuan menggali pilar-pilar literasi sebagai alat pikir jernih, agar mahasiswa, dosen, maupun pemangku kepentingan pendidikan mampu melihat literasi sebagai jalan menuju kepemimpinan intelektual, bukan sekadar formalitas. Berikut, Lima Pilar Literasi sebagai Alat Pikir Jernih

Pertama: Literasi sebagai Latihan Disiplin Intelektual; Menulis esai dari materi kuliah melatih mahasiswa untuk konsisten membaca, mencatat, dan merumuskan gagasan. Disiplin ini menjadi pondasi berpikir jernih, karena hanya dengan rutinitas intelektual, ide dapat diolah secara sistematis.

Kedua: Literasi sebagai Proses Seleksi Informasi; Di era banjir data, mahasiswa ditantang memilah fakta, opini, dan teori. Proses literasi melatih keterampilan menghubungkan teori dengan fenomena aktual. Dengan demikian, literasi bukan sekadar mengutip sumber, melainkan menata informasi yang relevan untuk argumen yang kokoh.

Ketiga: Literasi sebagai Ruang Dialog Akademik; Esai yang ditulis mahasiswa dapat menjadi bahan diskusi kelas. Di sini, literasi berubah dari aktivitas individu menjadi arena sosial, sesuai teori Wenger tentang community of practice. Mahasiswa belajar menguji argumen dan menghargai perbedaan pendapat.

Keempat: Literasi sebagai Penguatan Work Engagement; Mengacu pada teori Job Demand–Resources, mahasiswa yang merasa mendapat dukungan dosen (bimbingan, umpan balik) lebih bersemangat mengerjakan tugas. Literasi menjadi jembatan antara tuntutan akademik dan motivasi belajar, sehingga melahirkan keterlibatan yang lebih tinggi.

Kelima: Literasi sebagai Jalan Kepemimpinan Intelektual; Kemampuan menyusun argumen secara runtut merupakan dasar kepemimpinan intelektual. Mahasiswa yang terbiasa menulis jernih akan lebih siap memimpin, karena setiap keputusan dilandasi analisis, bukan sekadar intuisi. Dengan literasi, kepemimpinan tidak berhenti pada wacana, tetapi teruji dalam praktik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun