Observasi dan Wawancara: Uji Realitas atau Sekadar Formalitas?
Oleh: A. Rusdiana
Perkuliahan semester ganjil tahun akademik 2025/2026 telah dimulai pada 1 September 2025 hingga 19 Desember 2025. Di tingkat S1, mahasiswa mengikuti mata kuliah Metode Penelitian, sementara di S2 berfokus pada Manajemen Sumber Daya Pendidikan serta Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Semua mata kuliah ini menuntut mahasiswa tidak hanya memahami teori, tetapi juga menguji realitas di lapangan melalui observasi dan wawancara.
Secara teoritis, observasi dan wawancara bukan sekadar teknik pengumpulan data. Keduanya adalah instrumen untuk melatih soft skills berpikir kritis dan branding akademik. Observasi memaksa mahasiswa melihat realitas sosial apa adanya, sedangkan wawancara menuntut kemampuan menggali makna di balik kata. Teori Job Demand-Resources menjelaskan bahwa keterampilan ini membentuk work engagement yang berkelanjutan, sementara perspektif community of practice Wenger atau social learning Vygotsky menegaskan bahwa belajar adalah proses sosial.
Namun, ada gap: tidak semua mahasiswa memiliki kualifikasi akademik yang memadai. Banyak yang hanya mengerjakan penelitian sebagai syarat administrasi, bukan sebagai latihan logika. Di sini muncul pertanyaan: apakah metode penelitian benar-benar membentuk "mind match" antara teori dan realitas, atau hanya ritual formalitas?
Tulisan ini bertujuan menunjukkan bagaimana observasi dan wawancara menjadi pilar uji realitas dalam pembelajaran, sekaligus sarana membangun logika kritis, konsistensi menulis, dan branding akademik. Berikut lima Pilar Pembelajaran Observasi dan Wawancara sebagai Uji Realitas:
Pertama: Membedakan Opini dan Argumen Ilmiah; Dosen sering memberi tugas lapangan: mahasiswa diminta mengamati proses pembelajaran, lalu mewawancarai guru atau kepala sekolah. Dari sini, mahasiswa belajar membedakan opini---yang bersifat subjektif---dengan argumen ilmiah yang berakar pada data. Misalnya, opini guru tentang rendahnya motivasi siswa bisa diuji dengan observasi kehadiran dan catatan akademik. Observasi berfungsi sebagai realitas kontrol, sedangkan wawancara memberi dimensi makna. Dalam konteks SDM dan SIM, keterampilan ini penting agar calon pendidik atau manajer pendidikan tidak terjebak dalam asumsi, tetapi mampu mengolah informasi berbasis data lapangan.
Kedua: Metode Penelitian sebagai Fondasi Logika Akademik; Melalui observasi dan wawancara, mahasiswa belajar bahwa penelitian bukan sekadar memenuhi format skripsi atau tesis, tetapi fondasi logika akademik. Di era digital, platform publikasi seperti OJS atau Kompasiana dapat menjadi laboratorium terbuka untuk menguji kualitas tulisan. Ketika hasil wawancara dipublikasikan, publik bisa mengkritik atau menambahkan perspektif. Hal ini melatih mahasiswa menjaga validitas data sekaligus melatih keberanian intelektual. Untuk SDM dan SIM, metode ini memperkuat literasi data dan melatih mahasiswa berpikir sistematis dalam mengelola informasi pendidikan.
Ketiga: Konsistensi Menulis sebagai Branding Akademik; Hasil observasi dan wawancara seringkali menjadi bahan tulisan. Dosen menugaskan mahasiswa untuk merangkai laporan singkat, artikel reflektif, bahkan opini publik. Konsistensi menulis ini, bila dilatih sejak dini, menjadi bentuk branding akademik. Nama mahasiswa tidak hanya dikenal di kelas, tetapi juga di ruang publik digital. Dalam konteks SDM, keterampilan menulis adalah aset kompetitif, sementara dalam SIM, publikasi digital menjadi jejak profesional yang mudah ditelusuri.
Keempat: Observasi dan Wawancara sebagai Latihan Etika Akademik; Mengamati dan mewawancarai menuntut mahasiswa menghormati subjek penelitian. Mereka harus mengajukan pertanyaan dengan etika, menjaga kerahasiaan data, dan menuliskannya tanpa manipulasi. Etika ini bukan sekadar aturan, tetapi nilai akademik yang membentuk integritas. Tanpa integritas, data hanya menjadi formalitas kosong. Di dunia kerja pendidikan, integritas dalam mengelola SDM dan SIM adalah faktor penentu keberlanjutan organisasi.