Suatu momen menjelang Idhul Adha, Khalifah Umar Bin Khattab bertemu dengan seorang pemuda yang sedang menuntun seekor kambing. Setelah memperhatikan kambing tersebut, rasa penasaran sang khalifah membuatnya ingin tahu maksud dari pemuda tersebut. Sang Khalifah pun bertanya, "wahai anak muda, untuk apa kambing ini?". Pemuda itu menjawab "untuk saya persembahkan sebagai kurban saat hari raya nanti". Sang Khalifah kemudian menegur seraya memberikan pencerahan bahwa setiap persembahan kepada Tuhan haruslah sesempurna mungkin. Bagaimana engkau rela memberikan hewan seperti ini kepada Tuhanmu, hewan yang kurus dan terlihat kurang sehat. Bukankah kita semua menginginkan sesuatu yang terbaik untuk kita dapatkan di akhirat kelak?. Pemuda itu kemudian terdiam dan menangis menyesali dan segera menjual kambingnya lalu membeli hewan kurban yang lebih baik sesuai kemampuannya. Demikianlah percakapan dua insan yang memberikan benang merah bagaimana kita harus memperhatikan persyaratan-persyaratan dalam memilih hewan kurban sebagai persembahan kepada Tuhan.
Â
Mengapa harus seperti itu?
Â
Berkurban bukan sekedar ritual penyembelihan hewan, namun sarat akan makna dan nilai-nilai di dalamnya. Olehnya itu, kita perlu mengkaji dan mendalami lebih jauh lagi mengapa dalam setiap pemilihan hewan qurban secara syariat ditetapkan persyaratan yang ketat seperti jenis hewannya, usia minimalnya, kesehatan fisiknya, dan waktu penyembelihannya. Mari kita kaji dari tinjauan filosofis, spiritual, sosial dan pendidikan.
Â
Secara filosofis misalnya, ketatnya persyaratan dalam memilih hewan kurban memberikan pelajaran kepada kita bahwa setiap pengorbanan sejatinya tidak boleh dilaksanakan secara sembrono. Kita diajarkan untuk memberikan yang terbaik dari apa yang kita miliki, buka berupa sisa, yang cacat atau yang tidak berguna. Kita saja sebagai pemberi sudah tidak mau memakai, menggunakan, menerima apa yang akan dipersembahkan tersebut, mengapa mesti demikian yang dipersembahkan. Persembahan hewan kurban yang terbaik adalah perwujudan dari nilai keikhlasan dan integritas. Pengorbanan itu, hakikatnya akan dinilai oleh Tuhan dari niat dan kualitasnya.
Â
Dalam konteks realitas kehidupan kita sebagai manusia, kita tidak hanya dituntut untuk memberi dalam bentuk materi, tetapi waktu, tenaga, dan pikiran pun dapat kita persembahkan sebagai bentuk pemberian kepada siapa pun yang layak kita bantu. Lagi-lagi tetap memperhatikan kualitas yang terbaik dan bukan hanya sekedar membantu seadanya.
Â
Secara spiritual, berkurban bukan hanya sekedar menyembelih hewan secara fisik, melainkan ibadah tersebut adalah simbol penyembelihan segala sifat-sifat kebinatangan kita yang penuh dengan hawa nafsu. Syarat hewan yang tidak cacat dan tidak sakit adalah cerminan bahwa jiwa yang berkurban pun harus dalam kondisi terbaik, bebas dari penyakit riya', hasad, ujub, dan sombong.
Â
Bukankah Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin sudah menyampaikan kepada kita bahwa setiap aspek ibadah memiliki makna batin termasuk ibadah qurban. Ibadah ini adalah cermin dari penyucian batin seorang hamba dihadapan Tuhannya. Bukan darah atau daging yang diterima di hadapan tuhan, melainkan bagaimana ia bertaqwa dalam melaksanakannya.
Â
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya..." (QS. Al-Hajj: 37)
Â
Pemilihan hewan kurban, secara sosial mengajarkan kita tentang sikap empati, penanaman nilai keadilan dan bagaimana kita membangun kesetaraan sosial. Kita diwajibkan memberikan daging kurban yang berkualitas baik, layak konsumsi dan bernilai gizi tinggi sebab dalam Islam mengajarkan dan mendidik umatnya untuk memperlakukan kaum dhuafa dengan baik, memperlakukannya secara manusiawi dengan tidak menjadi tempat pembuangan sisa atau apapun yang sudah tidak layak.
Â
Dalam konteks dunia pendidikan, syarat-syarat pemilihan hewan kurban mengandung makna untuk melatih kedisiplinan dan keteladanan dalam beribadah. Misalnya, ketika kita dengan cermat mengikuti ketentuan syariat dalam pemilihan hewan kurban berarti kita telah berkomitmen menegakkan aturan-aturan agama. Hal ini adalah realisasi dari nilai kedisiplinan. Islam adalah agama yang tidak berdiri di atas keserampangan dan pelaksanaannya tidak boleh asal-asalan.
Â
Nilai keteladanan juga include di dalamnya. Hal ini dapat terlihat pada situasi dimana anak-anak yang menyaksikan orang tuanya, keluarganya, tetangganya ataupun lingkungan sosialnya yang lebih besar saat berkurban. Anak-anak akan menyerap nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan semangat memberi dari peristiwa tersebut.
Â
Pada hakikatnya dari pembahasan tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ketatnya syarat-syarat yang ditentukan oleh syariat dalam memilih hewan kurban tidak boleh dimaknai sebagai beban tetapi harus dimaknai bahwa syarat-syarat tersebut memiliki makna yang mendalam baik secara filosofis, spiritual, sosial dan pendidikan karakter bagi kita sebagai umat Islam.[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI