Pertama: Ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah ulama yang dengan terang-terangan mencari dunia dan rakus terhadap dunia. Kedua: Ulama yang membahagiakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah ulama yang menyeru manusia kepada Allah lahir dan batin. Ketiga: Ulama yang membinasakan dirinya sendiri dan membahagiakan orang lain. Mereka adalah ulama yang mengajak ke jalan akhirat dan menolak dunia secara lahir, tetapi dalam batinnya ingin dihormati manusia dan mendapatkan kedudukan yang mulia. Karena itu perhatikan pada golongan mana Anda berada." (Al-Ghzali, Ihy' 'Ulm ad-Dn, Juz III).
Dalam Islam banyak teladan ulama yang berani melawan arus kebijakan pemerintah sebagai prinsip keyakinannya. Â Imam 'Izzuddin bin 'Abdus Salam, yang menyandang gelar Sulthn al-'Ulam', rela dipenjara di balik jeruji untuk mengungkap pengkhianatan Sultan Malik Shalih di Syam yang bersekongkol dengan orang-orang Kristen untuk melawan Sultan Najmuddin Ayyub di Mesir. Sultan Ismail memberikan daerah Qal'ah, Shafd, dan daerah-daerah lain kepada orang Kristen. Bahkan ia membolehkan orang-orang Kristen memasuki Kota Damaskus untuk membeli persenjataan perang sesuka hati mereka demi memerangi Sultan Najmuddin Ayyub.
Melihat perbuatan mungkar ini, Imam 'Izzuddin bin 'Abdus Salam segera bertindak mencegah perbuatan para pengkhianat itu.
Beliau rahimahulLh mengeluarkan fatwa larangan menjual senjata kepada orang-orang Kristen. Pada hari Jumat, beliau naik mimbar Masjid al-Umawi di Damaskus---beliau adalah khathib resmi di Masjid Umawi---dan mengumumkan fatwa itu. Dengan tegas dan keras, beliau menentang tindakan mungkar yang telah mengkhianati umat Islam tersebut. Â Â Â Raja Ismail pun murka. Ia lalu mencopot jabatan khathib Jumat dan menangkap beliau dan Syaikh bin Hajib al-Maliki yang mendukung fatwa beliau. Sultan mengeluarkan instruksi kepada beliau untuk mendekam di dalam rumah, tidak boleh mengeluarkan fatwa kepada masyarakat, dan melarang siapa pun berguru kepada beliau. Namun, beliau menjalani semua cobaan itu dengan penuh kesabaran.
Keteguhan Imam 'Izzuddin bin 'Abdus Salam berpegang teguh pada syariah Islam juga tampak pada saat beliau berada di Mesir dan menjadi kepala qdh di sana di era Sultan Najmuddin Ayyub. Beliau mengeluarkan fatwa tentang kedudukan para pemimpin negara di Turki, yang menurut beliau, mereka masih terikat dengan perbudakan yang belum mereka tebus. Karena belum merdeka maka jual-beli dan pernikahan mereka tidak sah. Untuk itu, mereka wajib menebus diri mereka dengan membayar sejumlah uang kepada Baitul Mal.
Mendengar fatwa ini, para mamalik Turki marah besar. Mereka terpukul dan malu dengan fatwa tegas nan lurus ini. Meskipun beliau ditekan dan dirayu, beliau sama sekali bergeming dengan fatwanya. Akhirnya, para mamalik Turki itu tidak mampu berbuat banyak kecuali menuruti fatwa Imam Al-'Izz. Mereka membayar sejumlah uang. Lalu uang itu digunakan untuk kemaslahatan kaum Muslim.
Namun kematian adalah taqdir Allah, tak mungkin dimundurkan atau dimajukan. Jika ajal seseorang telah sampai, maka tak seorangpun mampu menahannya. Tinggal kita yang ditinggalkan harus mampu mengambil ibrah dan pelajaran. Pelajaran berharga dari wafatnya seorang ulama adalah pentingnya bersungguh-sungguh mencari ilmu, mengamalkan dan mengajarkannya. Selain itu penting dicatat, meninggalnya seorang ulama adalah menyadarkan akan pentingnya konsistensi dan keberanian memperjuangkan nilai-nilai Islam hingga bisa diterapkan dan dirasakan sebagai rahmatan lil'alamin atau kematian menjemput dalam jalan dakwah dan perjuangan.
(AhmadSastra,KotaHujan,23/05/22 : 10.00 WIB)