Mohon tunggu...
Ahlis Qoidah Noor
Ahlis Qoidah Noor Mohon Tunggu... Educator, Doctor, Author, Writer

trying new thing, loving challenge, finding lively life. My Email : aqhoin@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesetiaan untuk negara

8 April 2025   22:04 Diperbarui: 8 April 2025   22:04 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture from Chat GPT

Langit mendung menggantung di atas kota pagi itu, seolah merasakan gelisah yang menyelimuti hati Ratih. Ia terbaring di ruang bersalin, napasnya terengah-engah, keringat dingin membasahi pelipis. Dua kehidupan di dalam rahimnya menunggu dunia menyambut mereka. Ratih seorang ibu muda berusia 3o an yang tengah berjuang seorang diri di ruang bersalin.

Di tempat lain, di jalanan yang penuh teriakan dan kepulan gas air mata, Bram berdiri tegar. Seragam dinasnya menempel erat di tubuh tegapnya, wajahnya tegang memantau kerumunan mahasiswa yang menuntut pencabutan suatu Undang-Undang  yang dinilai menindas rakyat kecil.

Bram bukan orang yang menyukai kekerasan. Ia lebih suka berdialog daripada menembakkan peluru. Tapi tugas adalah tugas. Dan hari ini, ia tidak bisa berada di sisi Ratih---istri yang telah menemaninya dalam suka dan duka. Ia hanya sempat mengecup keningnya pagi tadi, sebelum dering ponsel dari markas memanggilnya kembali ke dunia yang penuh gejolak.

"Pak, barisan depan mulai dorong pagar!" teriak seorang rekan di sebelahnya.

Bram mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua tetap tenang. Namun suasana memanas. Batu beterbangan. Botol meluncur ke udara. Lalu, suara yang paling ditakutinya terdengar---letusan senjata api.

Semua berlangsung cepat. Satu peluru nyasar, entah dari senjata siapa, meluncur dan menembus dada Bram. Ia terhuyung, lalu jatuh. Suara bising demo menghilang dari telinganya, tergantikan oleh gema suara lembut Ratih yang selalu mengucap, "Hati-hati ya, Mas..."

Sementara itu, di rumah sakit, Ratih menjerit pelan, lalu menangis keras. Tangisnya bersambut dua suara mungil: seorang bayi laki-laki dan seorang bayi perempuan. Dunia baru saja menyambut dua kehidupan baru, saat satu kehidupan perlahan memudar di tempat lain.

Malamnya, kabar itu datang. Seorang perwira datang dengan wajah sendu, topinya dilepas di depan dada.

"Bu Ratih... saya mewakili seluruh rekan tugas Bram... kami mohon maaf... Bram gugur dalam tugas."

Tangis Ratih meledak. Ia tak peduli lagi tentang sakit di tubuhnya. Yang terasa kini hanya hampa. Namun saat ia menoleh dan melihat dua wajah mungil di sampingnya---satu tampak seperti Bram saat tidur, satu lagi seperti dirinya saat kecil---Ratih tahu, perjuangan suaminya tak berakhir sia-sia.

Dua anak itu, lahir di tengah deru perlawanan, akan ia besarkan dengan kisah tentang ayah mereka. Seorang lelaki yang memilih berdiri di tengah badai, meski itu berarti tak sempat melihat buah hatinya pertama kali membuka mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun