Pemotongan Hukuman Koruptor dan Krisis Moral Penegakan Hukum
Oleh: Ahkam Jayadi
Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) Setya Novanto dan memotong hukumannya dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara, kembali menyulut kontroversi publik. Masyarakat mempertanyakan mengapa pelaku korupsi besar seperti Novanto justru mendapat keringanan hukuman, sementara narapidana biasa kerap menerima hukuman berat tanpa ampun.
Putusan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah hukum di Indonesia masih menjadi sarana keadilan atau telah menjadi ruang kompromi bagi elite yang memiliki akses politik dan ekonomi? Hal ini bukan saja menarik untuk di bahas akan tetapi hal yang sering kali terjadi secara berulang-ulang koruptor di hukum ringan. Belum lagi selnya yang di sulap menjadi kamar hotel bintang 5 dengan segala fasilitasnya.
Krisis Kepercayaan
Setya Novanto bukan figur biasa. Ia adalah mantan Ketua DPR RI, tokoh partai politik, dan terpidana kasus korupsi megaproyek e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Dalam sidang-sidang sebelumnya, majelis hakim telah menyatakan bahwa Novanto terbukti menerima dana haram dan menjadi bagian dari skema korupsi sistemik yang mencederai integritas lembaga negara. Bahkan Setya Novant bersama penasehat hukumnya telah merekayasa dan menghalangi penanganan perkara yang kita kenal dengan, menabrak tiang listrik hingga pengaturan rumah sakitnya.
Keringanan hukuman terhadap pelaku korupsi berat semacam ini mencerminkan distorsi dalam cara keadilan ditegakkan. Ketika PK lebih menjadi sarana "belas kasih hukum" ketimbang koreksi terhadap kekeliruan yuridis yang nyata, maka hukum kehilangan makna etiknya. Hukuman penjara telah kehilangan esensi keadilannya. Indonesia adalah negara yang menjadi sorga bagi pejabat yang korup.
Hukum yang Terjebak Formalisme
Dalam praktik hukum Indonesia, PK seringkali dibatasi pada aspek normatif-formal. Namun, dalam kasus korupsi kelas berat, pendekatan yang hanya mengutamakan prosedur tanpa mempertimbangkan rasa keadilan publik dan dampak sosialnya adalah bentuk penyempitan makna keadilan itu sendiri.
PK seharusnya bukan ruang pelarian terakhir bagi koruptor untuk mendapatkan pemutihan. Sebaliknya, ia harus menjadi sarana korektif dalam menjamin tegaknya keadilan substantif, bukan sekadar mempermainkan celah hukum.
Bahaya Pemakluman terhadap Korupsi
Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dampaknya meluas dan merusak akar-akar kehidupan publik. Oleh karena itu, penanganannya pun harus luar biasa. Ketika pelaku korupsi seperti Novanto mendapat keringanan hukuman, pesan apa yang ingin kita sampaikan kepada publik dan generasi muda?
Bahwa korupsi adalah hal yang bisa dinegosiasikan. Bahwa hukum bisa ditekuk asal punya koneksi dan kuasa. Dalam konteks ini, pemotongan hukuman justru memperkuat impunitas. Ia menciptakan preseden buruk dan menimbulkan keputusasaan publik terhadap keadilan.
Paradigma Etik Penegakan Hukum
Kita membutuhkan perubahan mendasar dalam paradigma penegakan hukum, dari legalisme kaku menuju pendekatan yang berbasis etik dan integritas. Hakim sebagai pengawal keadilan harus menyadari bahwa setiap putusannya bukan hanya menyangkut hitam-putih hukum, tapi juga meneguhkan atau menghancurkan kepercayaan publik. Asas peradilan, "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" hanya ada di dalam undang-undang. Realitasnya para hakim pertanggungjawaban putusannya adalah berdasarkan isi dompet.
Keadilan bukan sekadar kepastian hukum yang dingin, tetapi keberpihakan pada nilai moral, rasa keadilan masyarakat, dan kepentingan bangsa yang lebih luas. Last but not least adalah pertanggung jawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan dunia terlalu singkat untuk disalahgunakan.
Penutup
Putusan MA atas PK Setya Novanto telah menjadi preseden yang memprihatinkan. Saat bangsa ini tengah berjuang memerangi korupsi, putusan seperti ini justru menggerogoti upaya kolektif itu dari dalam. Hukum yang tidak berpihak pada keadilan adalah hukum yang kehilangan jiwanya. Sudah saatnya kita mereformasi cara pandang dan cara kerja institusi hukum kita agar keadilan bukan hanya menjadi slogan, tapi benar-benar hidup dan terasa di tengah masyarakat.#
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI