Mohon tunggu...
Agastya Harjunadhi
Agastya Harjunadhi Mohon Tunggu... -

sederhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Indonesia Siap Berantas Korupsi?

4 Oktober 2013   16:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:00 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Innalillaahi wainna ilayhi raajiun. Telah meninggal dan semakin lenyap, jiwa bersih dari para pemegang amanah di negeri ini. Kalimat ini adalah tanda duka yang mendalam kami dari para pemuda untuk para pemimpin saat ini tentang keadaan rakyat, terlebih pemimpin-pemimpinnya.

Sungguh negeri ini begitu memberikan kejutan-kejutan di tengah-tengah banyaknya kasus dan permasalahan pelik lainnya. Bukan sebuah langkah perubahan besar dalam memberantas, namun justru semakin menjadi-jadi. Korupsi.

Setelah banyak elit politik, pengusaha, pejabat teras, pengurus partai dan lain-lain. Kini korupsi telah menjangkit ke ranah pejabat penegak hokum. Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya menjadi penegak konstitusi hokum tertinggi di sebuah negeri, justru mengalami badai korupsi yang menimpah ketuanya langsung.

Membaca komentar dari para pengamat akan kasus krusial ini, ada benang merah yang sama dari setiap harapan mereka, yakni BAGAIMANA MEMBERANTAS KORUPSI. Namun mari kita lihat breakdown setiap pernyataan tersebut. Sudah kurang lebih 10 tahun slogan anti korupsi terus didengungkan, lalu kenapa tak kunjung membaik malah justru menjalar dan mengakar ke hampir semua pejabat. Malah telah ditiru oleh sebagian masyarakat. Satu hal lagi yang terfikir oleh para penegak hokum meski masih ragu adalah, hukuman mati terhadap pelakunya. Pertimbangan besar adalah untuk memberikan efek jera.

Namun saat ini kembali pada kasus. Menyidik dan timbullah pertanyaan yang jauh lebih penting dari kami para pemuda kepada para penguasa, pemimpin negeri saat ini. SUDAH SIAPKAH MEMBERANTAS KORUPSI? Jawabannya akan anda temukan setelah membaca penjelasan saya di bawah ini.

1.Keadaan para intelektual

Sehat intelektual belum tentu sehat jiwa. Ini fakta terjadi di dalam masyarakat kita. Banyak pemimpin berderet gelar, namun tak memiliki kematangan jiwa. Dan inilah produk dari sistem pendidikan di sekolah yang terlalu besar porsi belajar ilmu-ilmu dunia, tidak dibarengi dengan pembinaan jiwa melalui nilai agama.

Sederhananya, jangan salahkan akibat jika tidak memperbaiki sebab(akar). Salahkan perubahan yang tak kunjung mau dilakukan oleh jiwa yang mati dari para intelektual. Dan, jikagenerasi saat ini masih mengandalkan sistem pendidikan yang sama, maka dalam waktu 10-20 tahun ke depan, mayoritas para pemimpin negeri ini tak jauh berbeda dengan pemimpin-pemimpin saat ini, bahkan mungkin lebih buruk.

Masih ada harapan, di tangan para pemuda yang bersih. Masih ada harapan di tangan pemimpin dan penguasa negeri saat ini yang masih bersih. lalu kenapa tak juga ada perubahaan yang cukup berarti? Mari kita simak point ke-2.

2.Sistem

Dalam sebuah penelitian, sebuah sistem akan membentuk habit. Habit akan membentuk karakter. Dan karakter inilah yang melekat di dalam jiwa yang akan menentukan orientasi dan sikap hidup. Sudah terbukti bahwa sistem yang sedang berjalan di negeri ini telah mengakibatkan lahirnya budaya dan bahkan karakter korup. Sistem Negara baik dari cara pemilihan pemimpin rakyat, maupun sistem kontrol hukum. Besarnya biaya kampanye saat pemilihan kepala daerah maupun promosi caleg menjadi pemicu terjadinya korupsi besar-besaran. Di ranah hukum, para mafia/oknum hukum juga sudah ramai suap untuk memperingan penyelesaian kasus-kasus pidana termasuk korupsi.

Maka, perlu ada revolusi sistem dari para pemimpin yang masih jernih dan sehat jiwanya. Lalu, pertanyaannya, siapkah?

Tindakan korupsi telah menggerogoti tubuh bangsa. Sebagai contoh hingga Juli 2013, 298 kepala daerah dari 524 total jumlah kepala daerah di Indonesia tersangkut masalah korupsi, baik sebagai saksi, tersangka terdakwa atau terpidana. Belum data para wakil rakyat, hingga para elit politik Negara. Jika dulu mereka mencuri uang rakyat secara sembunyi-sembunyi, maka saat ini sudah terang terangan, berjamaah pula. Sudah tak tahu malu dalam merampok uang rakyat. Sekarang telah merambah hingga ke tinggak Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga kehormatan penegak hokum. Sungguh menjatuhkan martabat bangsa Indonesia sebagai Negara hokum.

Mengakarnya budaya korup hingga menjalar ke penegak dan aparat hokum, menandakan tindak criminal korupsi sudah tidak bisa hanya dengan langkah hokum, melainkan harus ada revolusi sosial. Efek moral dan norma kepada pelaku korupsi harusditerapkan hingga tingkat efek jera. Gerakan sosial anti korupsi harus dimulai dengan memberikan bukti konkret hukuman berat kepada koruptor, tidak tebang pilih, sehingga masyarakat sadar dan mulai peduli untuk menganggappenting bahwa korupsi adalah ancaman serius yang bisa menenggelamkan Negara dan menghancurkan bangsa.Hukum dan berikan efek jera sekarang juga!

“Dan Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil. Dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu, dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS: Al Baqarah ayat 188)

Tak seorgpun diamanahi memimpin rakyat olh Allah, lalu ia mati dlm khianat pd rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga baginya" (HR.Muslim).

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang baik dan mencegah kemunkaran. merekalah orang - orang yang beruntung" (QS. Ali Imran: 104)

Wallahu’alam bswb

@agastyalife

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun