Yogyakarta bukan cuma kota pelajar, tapi juga kota dengan jumlah penjual minuman teh yang luar biasa banyak. Entah kamu sedang di utara atau selatan, pasti ada satu-dua gerai teh yang berdiri di pinggir jalan, mulai dari franchise besar, usaha rumahan, hingga gerobak kaki lima. Dari sudut kampus, pasar malam, hingga gang kecil perumahan, hampir di setiap radius 500 meter kamu bisa menemukan tempat yang menjual teh kekinian dengan berbagai nama dan merek.
Minuman berbasis teh sendiri memang masih jadi primadona. Selain lebih murah dibanding kopi kekinian, teh juga bisa dikombinasikan dengan berbagai rasa yakult, susu, mojito, buah-buahan, sampai topping jelly warna-warni yang semuanya mudah diterima lidah konsumen muda. Teh terasa lebih "ramah" dan bisa diminum kapan pun, baik siang panas maupun malam dingin. Tidak heran kalau banyak pelaku usaha menjadikan minuman teh sebagai bisnis awal yang menjanjikan.
Salah satu brand lokal yang berhasil meraih mitra di berbagai kota termasuk Yogyakarta adalah Teh Warga. Mengusung konsep kemitraan terjangkau dan produk dengan variasi luas, Teh Warga menawarkan solusi bisnis siap jalan dengan modal relatif kecil. Tidak heran jika brand ini banyak muncul di area kos-kosan, perempatan ramai, atau kawasan kuliner malam.
Salah satu mitra Teh Warga adalah Alya Kania (23), mahasiswi yang aktif membantu menjalankan gerai kecil berbentuk stand milik kerabatnya di wilayah Jalan Garuda, Yogyakarta. Meski tidak sepenuhnya dikelola sendiri, Alya mengaku ikut andil dalam operasional sehari-hari.
"Di Jogja mah yang jual teh banyak banget, hampir tiap gang ada. Tapi aku mikir, kenapa nggak sekalian bantu buka juga?" katanya sambil tersenyum ketika ditemui di gerainya. Ia menambahkan bahwa minuman teh tetap punya pasar sendiri meskipun saingannya banyak, karena orang-orang sudah terbiasa mencari minuman ringan dengan harga terjangkau.
Menurut Alya, salah satu kunci bertahan adalah kombinasi antara rasa, pelayanan, dan lokasi. "Kalau cuma enak doang tapi pelayanannya kurang ramah, susah juga. Kadang pembeli datang bukan cuma karena minumannya, tapi karena nyaman ngobrol dan nunggu," ujarnya sambil menuangkan teh ke dalam gelas plastik.
Alya juga menekankan bahwa meski ia bukan pemilik utama, ia ikut merasakan dinamika jatuh-bangunnya usaha ini. Mulai dari stok habis karena supplier telat, cuaca yang bikin penjualan anjlok, hingga momen-momen ramai menjelang malam minggu. Di kota yang sudah sangat padat dengan usaha kuliner kecil, terutama minuman kekinian, cerita Alya dan gerai Teh Warga miliknya bukan hanya gambaran dari bisnis yang dijalankan anak muda. Ia juga menjadi representasi dari semangat bertahan dan adaptasi di tengah pasar yang sudah sesak tapi tetap terbuka lebar.
Alya mengaku, awalnya ia hanyalah pelanggan setia Teh Warga. Ia sering membeli karena harganya ramah di kantong dan pilihannya banyak. "Awalnya cuma beli-beli biasa aja, soalnya murah dan rasanya enak. Terus kepikiran, kayaknya seru juga kalau buka sendiri," cerita Alya.
Rasa penasaran itu kemudian mendorongnya mencari tahu soal sistem kemitraan Teh Warga. Setelah ditelusuri, ia merasa cocok: modalnya tidak terlalu besar, brand-nya sudah dikenal, dan sistem operasionalnya cukup jelas. Ia hanya perlu menyiapkan lokasi, peralatan, dan bahan baku yang disediakan pusat.
"Sistemnya cukup jelas. Kita tinggal siapkan tempat, alat, dan bahan dari pusat. Harganya pun terjangkau," ujar Alya.