Para pegiat sejarah itu tidak hanya mengamati, tetapi juga mencatat, memetakan, dan mendokumentasikan setiap detail.
Perjalanan berlanjut ke Gedung Siola di kawasan Jalan Tunjungan, salah satu pusat perdagangan paling bergengsi di masa lalu. Kini gedung itu menjadi ikon kota dan pusat layanan publik.
Catatan sejarah menyebut, di awal abad ke-20, Siola dikenal dengan nama Whiteaway Laidlaw, pusat perbelanjaan modern bagi kalangan elite Hindia Belanda.
Dikutip dari Harian Soerabaiasch Handelsblad, gedung ini didirikan pada 1877 oleh Robert Laidlaw (1856--1935), pengusaha asal Inggris. Pembukaannya pada Maret 1923 menjadi peristiwa besar di Surabaya. Bahkan, The Straits Times edisi 17 Juni 1924 menulis tentang rapat tahunan perusahaan Laidlaw, menyebut Whiteaway Laidlaw sebagai gedung terindah se-Hindia Belanda dengan fondasi paling kokoh.
Kala itu, Siola menjadi tempat berkumpulnya masyarakat kelas menengah atas --- orang Eropa, bangsawan, dan kalangan berpendidikan. Mereka datang berbelanja atau sekadar bersosialisasi.
"Inilah simbol modernitas awal kota Surabaya. Di sini juga ada meriam besar dan mesin ketel uap yang mirip lokomotif kereta api," ujar Nanang Purwono sambil menunjuk benda-benda kuno yang dipajang di pelataran Gedung Siola.
Dari kawasan Genteng, langkah para pegiat sejarah Muhammadiyah berlanjut menyusuri jantung kota ke arah Masjid Da'wah, bangunan bersejarah yang tak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga titik awal lahirnya tradisi dakwah ilmiah di Surabaya.
Masjid Da'wah berlokasi di Blauran Kidul Gang 2 Nomor 21. Masjid ini tersembunyi, berada di perkampungan padat, diapit bangunan bertingkat, dan hanya bisa diakses melalui gang sempit sekitar 1,5 meter lebarnya dan sepanjang 50 meter. Untuk mencapainya, sepeda motor pun harus dituntun.
Di sisi kanan, berdiri dinding-dinding rumah warga yang tampak sudah berusia puluhan tahun. Sebagian temboknya mengelupas dimakan usia, memperlihatkan lapisan bata yang dulu pernah ditutupi cat warna-warni.