Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Berkemajuan Muhammadiyah dari Genteng hingga Tunjungan

8 Oktober 2025   20:52 Diperbarui: 8 Oktober 2025   20:52 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pegiat sejarah Muhammadiyah menyusuri Kampung Genteng Tebasan. Foto: Ahmad Jabir

Matahari mulai menepi. Langit Surabaya berwarna jingga keemasan ketika sekelompok pegiat sejarah Muhammadiyah melangkah perlahan menyusuri kawasan Tunjungan. Sore itu, Selasa (7/10/2025), mereka sedang menapaki jejak masa lalu --- merekam ulang sejarah yang pernah hidup di jantung kota, di mana dakwah, pendidikan, dan peradaban Islam berkemajuan pernah bertumbuh.

Para pegiat sejarah Muhammadiyah itu adalah Azrohal Hasan, Wildan Nanda Rahmatullah, Ni'matul Faizah, Zahrah Putri Pratiwi, Tanwirul Huda, dan Ahmad Jabir, didampingi Nanang Purwono, sejarawan yang telah menulis beberapa buku sejarah Muhammadiyah.

Tepat pukul empat sore, mereka memulai penyisiran sejarah Muhammadiyah dari Jalan Genteng Muhammadiyah, sebuah kawasan legendaris yang telah lama menjadi saksi perjalanan pendidikan Islam modern di Surabaya.

Nama Jalan Genteng Muhammadiyah tidak lahir tanpa sejarah. Di sinilah Muhammadiyah Surabaya tumbuh dan berakar sejak awal abad ke-20. Pada masa itu, kawasan Genteng dikenal sebagai daerah padat yang menjadi tempat tinggal para saudagar, guru, dan aktivis pergerakan Islam. Dari sinilah semangat pencerahan Muhammadiyah menyebar ke seluruh penjuru kota.

Dua sekolah ternama berdiri gagah di sepanjang jalan ini, yakni SMP Muhammadiyah 2 Surabaya dan SMA Muhammadiyah 10 Surabaya. Keduanya menjadi simbol keberlanjutan nilai-nilai pendidikan berkemajuan yang diwariskan para pendiri.

"Genteng Muhammadiyah memiliki catatan sejarah yang panjang. Dari sinilah Muhammadiyah membangun fondasi intelektual dan spiritual bagi generasi Surabaya," ujar Azrohal Hasan.

Azrohal menuturkan, kegiatan napak tilas sejarah ini sejatinya merupakan bagian dari program Majelis Pustaka, Informasi, dan Digitalisasi (MPID) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.

"Kami melakukan kajian sejarah dan sudah menerbitkan beberapa buku. Yang terbaru membahas jejak KH. Ahmad Dahlan di Jawa Timur," jelasnya.

Penyisiran diawali dari Kampung Genteng Tebasan, sebuah wilayah kecil yang menyimpan jejak arsitektur kolonial. Rumah-rumah tua dengan pintu tinggi dari kayu jati dan jendela besar masih berdiri di antara bangunan modern. Catnya memang memudar, tapi kesan klasiknya masih kuat.

"Bangunan-bangunan ini saksi bisu perkembangan Surabaya," tutur Wildan Nanda Rahmatullah, yang mengaku baru pertama kali mengunjungi kawasan itu.

Para pegiat sejarah itu tidak hanya mengamati, tetapi juga mencatat, memetakan, dan mendokumentasikan setiap detail.

Berdiskusi di Monumen Meriam Surabaya di pelataran Gedung Siola. Foto: Ahmad Jabir.
Berdiskusi di Monumen Meriam Surabaya di pelataran Gedung Siola. Foto: Ahmad Jabir.

Perjalanan berlanjut ke Gedung Siola di kawasan Jalan Tunjungan, salah satu pusat perdagangan paling bergengsi di masa lalu. Kini gedung itu menjadi ikon kota dan pusat layanan publik.

Catatan sejarah menyebut, di awal abad ke-20, Siola dikenal dengan nama Whiteaway Laidlaw, pusat perbelanjaan modern bagi kalangan elite Hindia Belanda.

Dikutip dari Harian Soerabaiasch Handelsblad, gedung ini didirikan pada 1877 oleh Robert Laidlaw (1856--1935), pengusaha asal Inggris. Pembukaannya pada Maret 1923 menjadi peristiwa besar di Surabaya. Bahkan, The Straits Times edisi 17 Juni 1924 menulis tentang rapat tahunan perusahaan Laidlaw, menyebut Whiteaway Laidlaw sebagai gedung terindah se-Hindia Belanda dengan fondasi paling kokoh.

Kala itu, Siola menjadi tempat berkumpulnya masyarakat kelas menengah atas --- orang Eropa, bangsawan, dan kalangan berpendidikan. Mereka datang berbelanja atau sekadar bersosialisasi.

"Inilah simbol modernitas awal kota Surabaya. Di sini juga ada meriam besar dan mesin ketel uap yang mirip lokomotif kereta api," ujar Nanang Purwono sambil menunjuk benda-benda kuno yang dipajang di pelataran Gedung Siola.

Para pegiat sejarah Muhammadiyah menyisir kawasan Tunjungan. Foto: Ahmad Jabir
Para pegiat sejarah Muhammadiyah menyisir kawasan Tunjungan. Foto: Ahmad Jabir

Dari kawasan Genteng, langkah para pegiat sejarah Muhammadiyah berlanjut menyusuri jantung kota ke arah Masjid Da'wah, bangunan bersejarah yang tak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga titik awal lahirnya tradisi dakwah ilmiah di Surabaya.

Masjid Da'wah berlokasi di Blauran Kidul Gang 2 Nomor 21. Masjid ini tersembunyi, berada di perkampungan padat, diapit bangunan bertingkat, dan hanya bisa diakses melalui gang sempit sekitar 1,5 meter lebarnya dan sepanjang 50 meter. Untuk mencapainya, sepeda motor pun harus dituntun.

Di sisi kanan, berdiri dinding-dinding rumah warga yang tampak sudah berusia puluhan tahun. Sebagian temboknya mengelupas dimakan usia, memperlihatkan lapisan bata yang dulu pernah ditutupi cat warna-warni.

Di sisi kiri, deretan pagar seng berdiri kaku dan dingin, menjadi batas tegas antara gang sempit ini dengan kompleks mewah Hotel The Empire Palace.

Di balik seng itu, bangunan modern menjulang tinggi dengan dinding kaca yang memantulkan cahaya sore dan udara sejuk dari pendingin ruangan yang nyaris tak terdengar.

Masjid Da'wah didirikan pada tahun 1960. Masjid ini bukanlah masjid yang megah. Berdiri di atas lahan seluas 284 meter persegi dengan luas bangunan mencapai 568 meter persegi, masjid ini mampu menampung sekitar 400 jemaah.

Ukurannya relatif kecil, hanya sekitar 10 x 10 meter persegi. Namun dari ruang yang terbatas itu, terpancar suasana kehangatan dan ketenangan yang sulit ditemukan di tengah kota besar.

Bangunannya terdiri dari dua lantai yang sederhana, namun tertata rapi dan bersih. Di salah satu sudutnya berdiri sebuah menara menjulang --- tanda khas sebuah rumah ibadah.

Masjid Da'wah menyimpan kisah panjang tentang perjuangan, pengabdian, dan kelahiran lembaga pendidikan Islam yang kini dikenal sebagai Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya). Masjid ini juga memiliki hubungan erat dengan pendirian Fakultas Ilmu Agama dan Dakwah (FIAD), cikal bakal Fakultas Agama Islam (FAI) UM Surabaya.

Masjid Da'wah juga menjadi tempat berkumpulnya para mubaligh muda Muhammadiyah, mahasiswa, dan aktivis dakwah.

"Jadi ini, tho, Masjid Da'wah itu. Ada menaranya yang masih asli," tutur Ni'matul Faizah seraya melihat sekeliling masjid.

Para pegiat sejarah Muhammadiyah mengaku sangat menikmati kegiatan napak tilas di jantung kota Surabaya sore itu. Mereka menilai kegiatan semacam ini penting untuk mengenali kembali jejak perjuangan Muhammadiyah di tengah perubahan kota yang kian cepat.

Melalui kunjungan langsung ke lokasi-lokasi bersejarah, mereka dapat melihat bukti nyata bagaimana dakwah, pendidikan, dan amal usaha Muhammadiyah pernah tumbuh dan memberi pengaruh besar bagi masyarakat Surabaya.(agus wahyudi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun