Aku mengambil tempat di dekat parkiran yang agak remang. Kutoleh sekeliling. Memastikan tak ada orang yang melihat. Aku bersila lalu menengadahkan tangan. Kedua botol air mineral itu kutetakkan di depanku. Aku buka kemasan lalu tutup botolnya. Aku berdoa. Intinya, permohonan agar air ini bisa membantu menyembuhkan Pak Bara. Tanpa butuh waktu lama, kulekatkan kertas putih setelah kutis nama Pak Bara di kedua air mineral itu.
***
Bu Nina masih tidur berselonjor di sofa. Di samping ranjang Pak Barayang lelap tertidur diiringi napas agak berat. Selan infus masih menancap di lengannya.
Kutatap lekat-lekat wajah Pak Bara. Kulihat gurat-gurat ketuaannya yang makin kentara. Oh, dia bisa jadi serapuh ini. Kuraih tangan Pak Bara, kemudian kuremas. Terasa lembek dan dingin.
Aku tak kuasa membangunkan mereka. Kutaruh dua botol air mineral, yang sudah kudoai sendiri itu. Di atas meja yang dipenuhi tumpukan obat, cairan infus, dan beberapa roti dan biskuit yang belum dibuka kemasannya.
Aku melangkah pergi. Daun pintu kututup perlahan meski masih terdengar bunyi klekk..Â
Kepada beberapa perawat jaga kutitipkan pesan, telah kukirim air permintaan Bu Nina. Seorang perawat hanya mengangguk, lantas tersenyum.
Aku berjuang keras menghilangkan kekhawatiran, bila Pak Bara tahu air itu bukan dari Habid Usman, tapi dariku. Ya, dari doaku sendiri. Dalam tidur, di antara sadar dan tidak, aku bermimpi, Pak Bara tersenyum padaku. Dia kemudian acungkan dua ibu jari. (agus wahyudi)