Mohon tunggu...
Agus Tomaros
Agus Tomaros Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sejarah

Historia Magistra Vitae

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Mengkhawatirkan? Menyoal Kritik dan Petisi Akademisi hingga Putusan DKPP dan Gugatan ke PTUN

9 Februari 2024   17:02 Diperbarui: 9 Februari 2024   17:05 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sivitas Akademika Unismuh Jakarta (UMJ) mengeluarkan pernyataan sikap terkait kondisi pemerintahan dan Pemilu 2024, Senin 5 Februari 2024 (Kompas.com)

Sepekan sebelum babak final Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, cuaca politik makin memanas. Menyerang dan bertahan atau menyerang balik menjadi strategi pilihan masing-masing tim pengusung kandidat. Tetapi jika digeneralisasi, pasangan yang paling banyak mendapat serangan adalah kubu Prabowo-Gibran. Figur yang menjadi kekuatan pendukung utama pasangan ini yaitu Jokowi pun tidak terlepas dari sorotan, mulai dari yang sifatnya murni kritik atau yang sudah berbentuk petisi.

Serangan terbaru kembali menerpa pasangan ini pasca Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) mengeluarkan keputusan tentang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum terkait diterimanya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto. Ada pula pihak yang melaporkan Gibran ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). Bagaimana semua isu ini dikemas dalam satu tulisan? Kami mencoba menyajikannya secara kronologis dan kausalitas sesuai prinsip dasar sejarah.

Kritik dan Petisi Beruntun Akademisi 

Kritik dimaksud sesungguhnya telah dilancarkan beberapa bulan berselang oleh mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi seperti yang sudah pernah kami sajikan dalam beberapa tulisan berselang. Bedanya kali ini bukan lagi mahasiswa yang melancarkan kritik dan protesnya tetapi telah menjalar ke kalangan akademisi di beberapa kampus.

Sepekan terakhir ini akademisi dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah melayangkan petisi secara beruntun mengkritisi pemerintahan Jokowi. Dimulai dari almamater Presiden Jokowi sendiri yakni Universitas Gajah Mada pada 31 Januari 2024. Berturut-turut kemudian dari tanggal 1-2 Februari 2024 petisi dilancarkan oleh Universitas Islam Indonesia, Universitas Khairun Ternate, Universitas Hasanuddin, Universitas Indonesia, Universitas Andalas, Universitas Sunan Kalijaga, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Atmajaya dan Universitas Muhamamdiyah Bangka Belitung.

Pantauan Kompas.com (6/2/2024) antara 31 Januari 2024-5 Februari 2024 terdapat 30 kampus di seluruh Indonesia yang melontarkan kritik terhadap Presiden Jokowi.  Akademisi perguruan tinggi seluruh Indonesia ini mengeluarkan petisi terkait kekhawatiran mereka akan masa depan demokrasi di Indonesia. Meski demikian, ada pula sekelompok kecil akademisi yang membuat petisi tandingan yang menyatakan bahwa keadaan Indonesia baik-baik saja.

Demokrasi Diuji Intrik 

Di bagian Timur Indonesia, akademisi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sekaligus anggota Forum Dosen Sulawesi Selatan, Adi Suryadi Culla termasuk yang banyak menunjukkan kekhawatirannya tentang masa depan demokrasi di Indonesia. Ia bahkan sempat menyerahkan buku berjudul Demokrasi dan Masa Depan Kedaulatan Indonesia di sela-sela peluncuran buku yang kami tulis bersama beberapa penulis dan akademisi di Sulawesi Selatan. Penulis yang tergabung dengan grup WA yang sama dengan beliau mencoba menyimpulkan pemikiran mantan Komisioner KPUD Sulsel dan  Pusat ini. Penulis lalu menemukan satu frase yang sekaligus merupakan judul salah satu artikel beliau di harian Fajar berjudul "Demokrasi Diuji Intrik."

Demokrasi Sedang Sakit dan Terancam

Adapun frase "Demokrasi Sedang Sakit" penulis temukan dari kekhawatiran Pakar  Hukum Universitas Negeri Makassar, Prof. Heri Tahir. Menurutnya, rangkaian peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya yang berkaitan dengan pemilu, seolah memberi kabar bahwa demokrasi Indonesia sedang sakit. Artinya ada yang tidak sehat di ranah ini. Anggota Forum Dosen lainnya, Hasrullah menegaskan bahwa wajar jika belakangan ini banyak sikap dari pakar dan akademisi, terkait dengan kritik demokrasi. Sebab, mereka semua menganggap bahwa demokrasi Indonesia tengah terancam. Demikian diktuip dari harian Fajar (6/2/2024).

Putusan DKPP tentang Pelanggaran KPU

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah mengeluarkan keputusan yang menyatakan ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) melanggar etik. KPU dinilai bekerja tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu, karena menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres Prabowo hanya berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi, tanpa merevisi Undang-Undang Pemilu sebelumnya tentang syarat umur 40 tahun yang pada saat pendaftaran belum dipenuhi Gibran.

Pelanggaran etik di atas menyebabkan DKPP menjatuhkan "Sanksi Peringatan Keras Terakhir" kepada Ketua KPU Hasyim Asyari, dan "Sanksi Peringatan Keras" kepada anggotanya masing-masing Yulianto Sudrajat, August Meliaz, Betty Epsilon Idroos, Parsadaan Harahap, Idham Holik, dan Mochammad Afifuddin. Demikian diputuskan dalam Rapat Pleno oleh lima anggota DKPP masing-masing Heddy Lugito (Ketua merangkap anggota) dan anggota masing-masing J. Kristiadi, Ratna Dewi Pettalolo, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, dan Muhammad Tio Aliansyah. Rapat Pleno dimaksud digelar pada Kamis, 18 Januari 2024 dan hasilnya dibacakan saat sidang kode etik terbuka untuk umum pada Senin, 5 Februari 2024.

12 Pihak yang Digugat ke PTUN

Meskipun dari sisi hukum tata negara, pencalonan Gibran Rakabuming Raka masih sah karena putusan MK bersifat final dan mengikat, namun masih ada celah untuk Gibran digugat ke PTUN. Ini menurut Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis sebagaimana dikutip dari Fajar (7/2/2024). 

Menurutnya, saat ini beberapa komunitas pengacara sedang mendiskusikan kemungkinan mengajukan gugatan pencawapresan Gibran ke PTUN berdasarkan dua putusan pelanggaran etika. Pertama, pelanggaran etika yang dilakukan oleh Ketua MK, Anwar Usman yang diputuskan melanggar etika berdasarkan putusan Mahkamah Kehormatan MK (MKMK). Kedua, pelanggaran etika yang dilakukan Ketua KPU serta anggotanya berdasarkan putusan DKPP. Kedua pelanggaran etika yang disebutkan berkaitan langsung dengan pencalonan Gibran sebagai cawapres.

Advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) telah menggugat Jokowi dan Gibran ke PTUN pada Jumat, 12 Januari 2024. Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara, Petrus Selestinus mengatakan gugatan tersebut mengenai dugaan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat dan lembaga pemerintah. TPDI mengatakan total ada 12 pihak yang dilaporkan ke PTUN DKI Jakarta yakni Presiden Jokowi, Anwar Usman, Gibran Rakabuming, Bobby Nasution, Prabowo Subianto, KPU, Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, Arif Hidayat, Iriana Jokowi, Kaesang Pangarep, dan Bocor Alus Tempo.co.

Dengan demikian, jika memakai prinsip dasar sejarah berupa kronologis, maka deretan kritik dan petisi, hingga putusan DKPP dan gugatan ke PTUN akan melahirkan satu interpretasi sejarah bahwa demokrasi Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Itulah sebabnya, Nurul Ilmi Rusdi dalam kolom Fajar (7/2/2024) mempertanyakan dari planet mana mereka yang mengatakan bahwa Indonesia baik-baik saja. Ia juga heran jika ada yang menyebut bahwa kritikan dan petisi para akademisi perguruan tinggi ini dikendalikan oleh satu kekuatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun