Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Papa Minta Saham itu Biasa

23 November 2015   00:27 Diperbarui: 23 November 2015   01:03 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengarah ke ujung 2015, istilah “Papa Minta Saham” (PMS) langsung merebut perhatian sebagian publik Indonesia setelah sekian lama disibukkan oleh “Mama Minta Pulsa”. Istilah tersebut muncul setelah merebaknya transkip pembicaraan, yang seorang pembicara di antaranya dicurigai bernama Setya Novanto (SN) – Ketua DPR RI periode 2014-2019.

Sebenarnya, PMS sudah lama dipraktikkan oleh para elit pengelola negara, apalagi zaman investasi asing seperti jamur di musim penghujan. Investasi asing merupakan hujan harta bahkan investasi sekelompok elit, termasuk elit tingkat regional. Ketika itu para PMS pun sudah melingkupi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tidaklah mengherankan apabila anak-anak atau keturunan para elit masa itu tidak akan pernah miskin selagi perusahaan-perusahaan besar bahkan multinasional masih beroperasi-berproduksi.

Mengapa ada petahana, ada yang ngotot menjadi wakil rakyat, dan seterusnya, walaupun berani menghabiskan biaya sekian milyar rupiah seolah tanpa kalkulasi-akuntabilitas yang prospektif? Kalau tidak ada keuntungan materi, termasuk PMS demi masa depan anak-cucu, tentunya mustahil mereka sudi hanya menikmati hidup dari gaji dan tunjangan, yang sudah melampui batas standar kemiskinan rakyat, ‘kan? 

Kemudian, tidaklah mengherankan pula sebagian elit pengelola negara berusaha keras meredam kelanjutan PMS yang, bisa jadi, bakal membongkar aksi PMS yang sudah puluhan tahun menjadi tradisi ‘bancaan’ para elit, termasuk yang masih menjabat. Beberapa elit berusaha mengalihkan ‘perhatian’ dengan bahasa diplomatis, seolah-olah PMS-SN hanya bersifat pribadi dan bukanlah persoalan yang krusial di Republik ini. Dan lain-lain.

Lantas, mengapa tiba-tiba PMS menjadi sangat gaduh bahkan era MMP sudah kalah pamor?

Hal yang paling jelas sekarang adalah zaman keterbukaan melalui media sosial alias jaringan informasi-komunikasi internet yang bisa didayagunakan oleh banyak kalangan. Zaman ‘dulu’ informasi-komunikasi sangat mudah terkendali – zamannya otoriter-diktator yang super represif. PMS hanya diketahui oleh ‘kalangan terbatas’.

Akan tetapi, selain perbedaan zaman yang memudahkan kegaduhan tersebut, sisi masa lampau yang belum juga berakhir adalah upaya mencari muka (carmuk) ditambah pencitraan. Carmuk dan pencitraan ini bukan sekadar ‘dari bawah ke atas’ (biasa dilakukan oleh ‘anak buah’ atau ‘swasta pada penguasa’), melainkan juga pada rakyat awam dengan memanfaatkan era teknologi informasi-komunikasi mutakhir.

 

Sekian saja.

*******

Panggung Renung, 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun