Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Bayang-bayang Kampung Halaman di Tempat Baru

25 Mei 2016   04:49 Diperbarui: 25 Mei 2016   21:25 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
karya asli Agustinus Wahyono

Dua tahun berada di Ibukota Indonesia, tepatnya Jakarta Barat, seperti deru angin dari angkutan kota warna biru jurusan Indosiar-Trisakti pada masa libur panjang Lebaran. Kesibukanku sebagai kepala studio gambar di sebuah tempat usaha konveksi dan garmen yang melayani pesanan seragam dan lain-lain untuk beberapa daerah di luar Jakarta, perjalanan antara indekos dan tempat kerja, dan suasana metropolitan yang senantiasa bergerak, seolah-olah telah mengelabui perhitungan waktuku.

Sebenarnya aku masih merasa berada di kampung halaman, Sri Pemandang Atas. Aku masih merasa aroma kaus-kaus oblong di kios depan rumah orangtuaku. Aku masih merasa suasana lalu-lalang angkutan kota warna merah jurusan Air Ruai-Pasar Sungailiat.

Yang juga kurasa, tentunya, belum mengenal kamu–perempuan bertato di antara tengkuk dan punggung putih-mulus. Entah kamu di mana, sedang melakukan apa, merasakan apa, dan segala yang entah-berantah, termasuk tentang Komunitas Kata Khayal. Semua tentangmu sama sekali tidak pernah tersampaikan oleh burung princek yang sering singgah di pohon belimbing dekat kiosku.

***

Ingatanku pun masih sangat lekat pada suasana rumah dua tahunan silam atau sebelum aku pindah ke Jakarta. Ingatan ini juga selalu ‘menuduh’ sekaligus ‘menggugat’-ku, seolah-olah aku berangkat ke Jakarta demi menghindar dari kenyataan belaka.

Ibu nek ngenalken ka kek anake kawan Ibu,” ujar Ibuku di meja makan pada saat matahari belum lama bangun dari tidur semalam suntuk.


Ibu mau mengenalkan kamu dengan anaknya kawan Ibu. Aku mengenal kawan Ibu tetapi tidak mengenal anaknya. Kawan Ibu berasal dari Medan, dan suaminya berasal dari Maluku.

Lucu orange, Bang,” timpal adikku yang tengah menyuap anak keduanya.

Cantik orangnya. Aku tidak tahu, secantik siapakah anaknya kawan Ibu. Tetapi adikku pasti pernah beberapa kali berjumpa dengannya karena sering bersama Ibu mengunjungi kawan Ibu. Adikku juga selalu menyindir, kalau tidak cantik, aku pasti tidak mau.

Ya, pastilah begitu, pikirku sembari menyeruput kopi bangka bikinan sebuah pabrik lokal milik sebuah keluarga Tionghoa di pertigaan Singkai Melintang.

Aku yang tidak ganteng, masak, sih, mendapat istri yang tidak cantik? Bagaimana bisa terjadi perbaikan keturunan, ‘kan? Aku selalu berkhayal, mendapat jodoh yang cantik, bagusnya lagi, ditambah jelita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun