Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harmonisasi Keluarga dari Kondisi Kesehatan Anjing Kami

4 Maret 2020   14:03 Diperbarui: 4 Maret 2020   16:41 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Senin, 2/3 rumah kami kedatangan seorang dokter hewan setelah dihubungi oleh istri saya. Dokter itu hendak memeriksa sebuah benjolan sebesar genggaman orang dewasa di sekitar puting seekor anjing betina kami, apakah memang tumor atau infeksi mastitis.

Beberapa hari sebelumnya, bahkan lebih satu bulan silam saya diberi tahu oleh istri bahwa anjing itu mengalami suatu penyakit sehingga terjadi pembengkakan sampai muncul benjolan. Pemberitahuan ini berkaitan dengan tindakan medis dan biayanya agar saya bisa memberi ketenangan bagi istri, karena sejak masih bujangan saya tidak pernah mengalami situasi yang semacam itu.

Saya sudah memberi kebebasan pada istri saya dalam hal pengelolaan keuangan, dimana saya selalu menyisihkan sebagian besar penghasilan saya ke tabungan istri. Pengelolaan itu pun termasuk dalam urusan kesehatan peliharaan kami, walaupun hanya anjing kampung.

Memang, saya kurang memahami kehidupan, apalagi kesehatan seekor anjing, karena saya orang kampung pelosok. Meski ketika kecil orangtua saya memelihara sepasang anjing, saya tidak terlalu dekat dengan keduanya. Ketika beranak-pinak lalu menjadi tua dan akhirnya mati, orangtua saya tidak pernah berhubungan dengan seorang dokter hewan pun.

Di rumah orangtua istri memang terbiasa akrab dengan anjing, khususnya antara istri dan anjing. Sejak istri masih balita, kedekatan merupakan bagian dari kesehariannya di rumah. Belum lagi dengan latar pendidikan SMA Bidang Biologi dan kuliah di Fakultas Biologi.

Istri paling serius jika berurusan dengan hewan, selain anjing. Ketika kuliah, istri pernah menangis satu harian gara-gara hamsternya mati. Ketika bekerja, istri menampar rekannya yang menendang seekor kucing.

Istri tidak tega melihat seekor ayam yang akan dipotong. Kalau membeli dalam bentuk mutilasinya, eh, potongannya, itu jelas berbeda.

Selain itu, sebagian lahan kebun kami pun tidak boleh dibersihkan, karena istri menghendaki habitat hewan liar tidak terganggu. Kalau ada seorang pemburu tepergok memasuki lahan kebun, istri akan mengusirnya.

Istri pernah mengajukan keinginan memelihara kucing, mertua tidak mengizinkan. Cukup anjing saja yang dipelihara, karena bisa membantu dalam penjagaan rumah pada suatu situasi.

Saya bisa memahami perhatian istri terhadap hewan, apalagi anjing. Soal kesehatan anjing yang menjadi perhatian sekaligus kesedihan, bukan kali ini saja. Beberapa waktu lalu ada juga anjing kami yang terpaksa harus dibawa ke klinik dokter hewan.

Saya pernah ditawarinya untuk memelihara hewan apa yang saya sukai. Saya menolak, karena saya tidak bisa merepotkan orang lain dalam pemeliharaan apabila suatu waktu saya pergi ke luar kota selama lebih tiga hari.

Kembali pada anjing kami yang tadi sedang mengalami suatu penyakit. Istri saya mengeluarkan anjing untuk diperiksa oleh sang dokter. Saya sendiri terkejut ketika melihat sebuah benjolan yang menggantung di area puting anjing kami.

Saya dan istri tidak heran setelah sang dokter memvonis bahwa benjolan tersebut adalah tumor, dan harus dioperasi. Hanya saja, istri agak khawatir mengenai biayanya.

Sekian juta rupiah. Begitu harga awal yang disodorkan oleh sang dokter hewan. Istri agak kebingungan, karena biaya yang terbilang besar baginya.

Meskipun bingung, istri tidak bisa berbuat apa-apa, selain mempertahankan kesehatan (kehidupan) anjing betina kami yang lebih lima tahun bersama kami. Istri pun menyanggupi, lalu sang dokter pulang.

Sepulangnya dokter hewan, saya diajak berembug mengenai biaya operasi nanti. Wajarlah, karena saya memiliki cukup uang yang sudah saya pasrahkan dalam tabungan istri saya, selain kewajaran hubungan suami-istri.

Di samping itu, prinsip saya adalah hubungan antarmanusia lebih penting daripada mempertahankan uang lantas menyedihkan pasangan hidup. Memiliki uang bukanlah berarti boleh sewenang-wenang terhadap orang lain, apalagi istri.

Setelah itu, istri menghubungi mamanya, karena berkaitan dengan biaya yang sekian juta. Selanjutnya, saya diajak rembugan lagi, meski saya melihat kedua pelupuk matanya agak membengkak.

Saya sampaikan lagi untuk meyakinkannya dalam tindakan darurat yang tidak boleh menunggu waktu. Kalaupun terpaksa "menguras" tabungan (uang saya), toh, semua itu demi harmonisasi hubungan suami-istri.

Sejak awal saya menyadari bahwa saya menikahinya bukan untuk membuatnya bersedih hati melulu. Keharmonisan itu paling utama setelah mengamini bahwa suka-duka ditanggung berdua dengan janji di depan altar. Aduhai, 'kan?

Jangankan soal uang jutaan untuk kesehatan anjing, lha wong sejak lebih lima tahun ini saya tidak pernah menuntut istri harus masak makanan yang saya sukai. Malahan istri saya kebingungan, saya mau makan apa lagi, selain tomat mentah, timun mentah, dan sebutir apel setiap beberapa hari sekali.

Saya sudah pernah makan makanan enak-lezat. Masa-masa bersama orangtua saya adalah masa paling menyenangkan dalam hal makanan, terlebih jatah sembako dari hak Ibu sebagai karyawan PT Timah pada masa jaya itu. Sudah cukup, 'kan?

Saya senang ketika istri benar-benar lega atas jawaban saya mengenai biaya operasi pengangkatan tumor anjing kami. Istri tersenyum.

Maka, keesokan harinya (Selasa, 3/3) anjing kami pun harus menjalani operasi di klinik dokter hewan. Saya tetap berada di rumah, karena menjaga seekor anjing betina kecil yang baru dua hari lalu dibawa oleh istri saya.

Sepulang dari klinik, istri menunjukkan tumor yang sudah diangkat tersebut. Saya tidak berani menatap benda berdarah itu, karena perasaan saya tidak tega. Sudah begitu, istri pun menceritakan aksi berdarah-darah di klinik tadi. Aduhai!

Ya, tidak apalah. Saya lebih mementingkan kelegaan dan ketenangan istri saya, termasuk biaya operasi yang tidak sampai satu juta rupiah, dan ketika saya dimintanya untuk menguburkan benda berdarah tersebut.

*******
Beranda Khayal, 3-3-2020

*) Maaf, saya tidak bisa menyertakan fotonya, karena saya tidak tega melihatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun