Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Negeri yang Kekanak-kanakan

18 September 2019   03:46 Diperbarui: 18 September 2019   06:58 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu, 14/9 (CNN)

Dewan Pengawas (DP) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disepakati oleh Legislatif (DPR RI) dan Eksekutif (Pemerintah) dan akan dibentuk dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang KPK. Ketentuan ini setelah RUU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selasa, 17/9.

Pengesahan itu menuai kericuhan di halaman Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. Kericuhan terjadi antara kelompok pegawai KPK yang memprotes (kontra) dan sekelompok orang yang mendukung (pro). Kericuhan sebelumnya terjadi pada Jumat, 13/9, ketika sekelompok massa memaksa masuk untuk mencopot kain hitam yang menutupi logo KPK sejak Minggu, 8/9.

RUU KPK yang diusulkan DPR pada Jumat, 6/9, telah disahkan menjadi UU KPK itu pun sebelumnya telah menimbulkan polemik di kalangan publik. Tentu saja, kalangan akademisi, seperti dari Universitas Indonesia Jakarta (Senin, 9/9) dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (10/9), turut mengambil bagian.

Mengawasi KPK
UU KPK yang disahkan dan berkaitan dengan pembentukan DP KPK mencantumkan enam tugasnya pada pasal 37B. Salah satunya adalah mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.

Pada Jumat, 13/9 di Istana Negara, dalam jumpa pers Jokowi menyatakan setuju dengan pembentukan Dewan Pengawas bagi KPK yang tertuang dalam draf revisi UU KPK usulan DPR.

"Anggota dewan pengawas ini diambil dari tokoh masyarakat, dari akademisi, ataupun pegiat antikorupsi. Bukan dari politisi, bukan dari birokrat ataupun dari aparat penegak hukum aktif," kata Jokowi.


Jokowi juga mengatakan bahwa pengangkatan anggota dewan pengawas ini dilakukan oleh presiden dan dijaring melalui panitia seleksi. Untuk poin mekanisme pemilihan anggota dewan pengawas yang disampaikan Jokowi berbeda dengan draf revisi UU KPK dari DPR.

Pengawasan dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam kehidupan sehari-hari di rumah dan lingkungannya, biasanya, fungsi pengawasan dilakukan oleh orangtua, orang lebih tua, atau orang yang dituakan terhadap anak-anak. Dan, dalam lingkungan sekolah, fungsi pengawasan dilakukan oleh guru atau pihak sekolah terhadap murid-murid.

Anak-anak atau murid-murid yang berkarakter, berkelakuan, atau berkebutuhan khusus, biasanya mendapat pengawasan ekstra. Perlakuan itu berbeda dengan anak-anak atau murid-murid yang biasa-biasa saja, misalnya tenang, patuh, disiplin, tertib, tidak suka membuat onar, dan sejenisnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, baik formal maupun informal, fungsi pengawasan selalu diemban oleh orangtua atau orang-orang lebih tua. Mustahil sekali, 'kan, anak-anak harus mengawasi orangtua, semisal ketika menonton televisi atau berbelanja di pasar?

Pengawasan dalam Kehidupan Berbangsa-Bernegara
Dalam tatanan kehidupan berbangsa-bernegara pasca-Reformasi 1998, wacana mengenai lembaga pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik muncul pada awal 2000-an. Salah satunya adalah lembaga Ombudsman.

Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan Pelayanan Publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan Pemerintah baik Pusat maupun derah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara serta badan Swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.

Selain dan sebelumnya, fungsi pengawasan menjadi bagian terpenting bagi pers dan, salah satunya, Indonesia Corruption Watch (ICW, sejak 21 Juni 1998). Pers dengan fungsi "kontrol sosial" juga dikenal dengan istilah "Watch Dog".  

Berhubungan dengan KPK, keberadaan DP seakan menambah kesan bahwa sebagian praktik penyelenggaraan dan pengelolaan negara justru dilakukan oleh oknum-oknum yang kurang kredibel, bahkan identik dengan anak-anak bandel. Apa-apa dan siapa-siapa masih harus diawasi dalam bekerja. Aduhai!

Kekanak-kanakan
September 2019 ini istilah atau tudingan "kekanak-kanakan" menyeruak dalam pergaulan berbangsa-bernegara. Setelah tiga pimpinan KPK, yaitu Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Laode Syarif, menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada Jokowi, Jumat, 13/9, Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin pun merespon.

"Ya, kekanak-kanakan, tidak lazim, baper (bawa perasaan), emosi. Enggak boleh begitu. Apa alasannya? Pimpinan KPK itu, 'kan, negarawan, punya tanggung jawab, jangan begitu," kata Ngabalin, Sabtu (14/9/2019).

"Kekanak-kanakan", menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya "bertingkah laku seperti kanak-kanak".

Selain itu, sebelumnya, pada Minggu, 8/9, berkelakuan seperti kanak-kanak atau "kayak anak kecil" juga sempat dilontarkan oleh Pemerhati Anak Seto Mulyadi sewaktu PB Djarum mengumumkan bahwa lembaganya akan menghentikan audisi beasiswa bulutangkis pada tahun 2020 karena dituding mengeksploitasi anak oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

"Saya melihat ini kok kayak anak kecil yang sedang ngambek," kata Seto Mulyadi.

Perkataan Seto Mulyadi pun menuai balasan. Pada 10/9 seorang bernama Sugik dengan akun Twitter @GusNurGarisLucu membalas, "Sudah tua masih dipanggil kakak... kayak anak kecil aja."

Gramha.Net
Gramha.Net
Yang masih sangat melekat dalam ingatan, tentunya, komentar mantan presiden RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sekitar Juli 2001. Waktu itu Gus Dur membubarkan dua pos kementerian di hadapan DPR.

"Beda DPR dengan taman kanak-kanak memang tidak jelas," kata Gus Dur.

Ternyata, pasca-lengsernya, tingkah-polah DPR masa itu memang mirip taman kanak-kanak dengan nyaris adu pukul dalam sebuah sidang paripurna. Akan tetapi pada Minggu, 31/10/2004, Gus Dur meralat komentarnya seusai acara buka bersama wartawan di Hotel Acacia, Jl. Kramat Raya, Jakarta.

"Karena DPR bukan taman kanak-kanak lagi tetapi sudah melorot menjadi play group," kata Gus Dur yang ketika itu sedang seru-serunya perseteruan antara Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan.

Siapa Mengawasi Siapa dan Siapa Kekanak-kanakan
Memang ironi merupakan realita di negeri yang berusia 74 tahun ini. Usianya, sih, tergolong kakek-nenek, tetapi dalam hal penyelenggaraan dan pengelolaan negara, pengawasan demi pengawasan masih bahkan bertambah jumlahnya seakan mengawasi anak-anak yang baru mulai sibuk bergerak.

Lantas, negeri macam ini, apa-apa atau siapa-siapa selalu saja perlu diawasi semacam mengawasi anak-anak bandel, nakal, ugal-ugalan, sudah melakukan tindakan riminal, dan lain-lain? Kalau bukan negeri kekanak-kanakan, apa lagikah?

Dan, kalau memang hanya sekawanan "anak-anak" mengajukan diri sebagai bagian dalam pengelolaan negara, mengapa orang-orang "dewasa" tidak membatalkan sejak pendaftaran mereka?

Barangkali beginilah repotnya sebuah negeri kekanak-kanakan yang dikelola oleh "anak-anak". Semua masih perlu pengawasan. Kalau tidak diawasi, cenderung terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bahkan kerusakan di mana-mana.

Akan tetapi, siapakah yang telah memilih "anak-anak" untuk tampil terkemuka dalam tata-kelola negeri ini?

Ah, pastinya "anak-anak" juga, sih. Orang dewasa pasti akan memilih orang dewasa, karena semua urusan tata-kelola negeri, termasuk keuangan serta keamanannya, tidaklah patut ditanggung oleh anak-anak.

Karya Gus Noy, 2003
Karya Gus Noy, 2003
*******

Kupang, 17-18 September 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun