Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Menulis dalam Adukan Semen

26 Agustus 2019   00:43 Diperbarui: 26 Agustus 2019   01:09 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Realitas yang kemudian saya hadapi adalah pelaksanaan dari perencanaan dan perancangan, baik direncanakan atau dirancang oleh orang lain maupun dari gagasan saya sendiri. Tentu saja, wujudnya berupa bangunan atau bagian bangunan secara nyata-fisik dan tiga dimensi.

Bagi saya, perwujudan fisik secara tiga dimensional merupakan realitas yang dinamis. Kalau sebuah perencanaan dan perancangan masih terikat dengan dimensi asumsif, perwujudan fisiknya bisa dilakukan secara fleksibel alias beradaptasi dengan dimensi realitas. Ukuran dan bentuk bisa mengalami perubahan, meskipun tidak terlalu kentara dalam satu kali pandangan.  

Tidak Melulu Teknis
Sebagian kawan atau orang di sekitar saya beranggapan bahwa sebuah pelaksanaan atau pembangunan hanya berkutat pada lingkup teknis. Misalnya membeli bahan (material), menempatkan material yang tepat, mengelola dan mengolah material, dan lain-lain. Selanjutnya adalah membangun sesuai dengan gambar kerja, dan selesainya adalah bangunan siap huni. Beres.

Beres, ya?

Ada persoalan non-teknis yang terkadang luput dari persiapan pelaksanaan pembangunan. Persoalan non-teknis tersebut berkaitan dengan situasi sosial di suatu tempat/lokasi atau kawasan. Misalnya?

Misalnya suatu projek pengembangan dan perbaikan (renovasi) sebuah unit rumah tinggal sederhana berada di kawasan perumahan bersubsidi yang baru dan mulai dipadati penghuni. Kawasan itu berada di daerah yang gersang, berbatu, dan tidak selalu mudah dalam penyediaan air untuk kerja.

Ya, seperti yang sedang saya tangani di pinggiran Kota Kupang, dan baru kali ini saya mengalami situasi non-teknis yang sulit jika saya bandingkan ketika menangani projek di Kalimantan, Jawa, dan Bangka. di wilayah pinggiran Kota Kupang ini saya mengerjakan renovasi sebuah rumah tinggal berukuran 36 meter persegi (tipe 36) dalam lahan seluas 84 meter persegi dan dengan ukuran kemiringan sampai 1,2 meter menurun ke belakang.

Lahan yang tersisa alias belum terbangun adalah 48 meter persegi. 48 meter persegi itu terdiri dari 1) 21 meter persegi di bagian depan untuk parkir dan bak penampung air bawah tanah; 2) 17,5 meter persegi di bagian belakang untuk dapur baru, ruang cuci, dan jemur; dan 3) 9,5 meterpesegi di bagian samping kiri.

Persiapan yang pertama adalah penyediaan material, misalnya pasir, kerikil, batu karang, dan lain-lain. Agar murah dan tidak kekurangan material, saya akan memesan pasir, kerikil, dan batu karang dalam jumlah satu bak truk (4-5 meter kubik). Beres, 'kan?

Oh, tidak semudah itu menganggapnya beres, Kaka! Sebagai penanggung jawab projek, saya yang paling dulu memikirkan ketidakmudahan, selain kemudahan secara teknis untuk dikerjakan oleh tim tukang.

Yang tidak mudah adalah menempatkan material itu. Sangat mustahil jika ketiga material dasar itu berada dalam satu lahan dan saat yang bersamaan. Kalau semen, sih, bisa ditempatkan dalam salah satu ruang dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun